Mohon tunggu...
Leonard Panjaitan
Leonard Panjaitan Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang ingin mengetahui segala sesuatu. Saya suka sejarah dan hal-hal yang berhubungan dengan perbankan serta topik-topik mengenai pembangunan berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Merchant Gestun (Gesek Tunai) dan Surcharge Kartu Kredit

5 Juli 2010   09:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:05 4891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Masih ingat PBI No.11/11/PBI/2009 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK)? Pada pasal 8 berbunyi ayat 2 berbunyi: Acquirer wajib menghentikan kerja sama dengan Pedagang (Bhs.Inggris: Merchant-red) yang melakukan tindakan yang dapat merugikan. Penjelasan ayat 2 ini adalah: Termasuk dalam pengertian ”tindakan yang merugikan” adalah tindakan Pedagang yang merugikan Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau Pemegang Kartu, antara lain Pedagang diketahui telah melakukan kerjasama dengan pelaku kejahatan (fraudster), memproses penarikan/gesek tunai (cash withdrawal transaction) Kartu Kredit, atau memproses tambahan biaya transaksi (surcharge).

Dalam PBI, apabila bank selaku acquirer tidak mengindahkan aturan ini akan dikenakan sanksi mulai dari teguran hingga ke pencabutan ijin oleh BI kepada Acquirer tersebut. Acquirer menurut PBI adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kerjasama dengan pedagang, yang dapat memproses data APMK yang diterbitkan oleh pihak lain. Sekarang permasalahannya, siapakah yang dirugikan oleh aturan ini? Bank atau pemegang kartu (nasabah) ?. Dari kacamata perbankan khususnya industri kartu kredit ketentuan PBI ini memberikan ketegasan bagi praktek bisnis kartu kredit. Gestun atau gesek tunai adalah transaksi kartu kredit yang bersifat abu-abu (sebelum PBI ini terbit) dimana nasabah menggesekkan kartu kreditnya bukan untuk berbelanja barang namun malahan nasabah mendapatkan uang tunai. Hal ini biasanya dimanfaatkan oleh pedagang terhadap nasabah yang kebelet uang tunai dengan bunga murah ketimbang menarik uang di ATM.

Gestun (Gesek Tunai)

Dalam Laporan Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang 2009 (LSPPU) maka diperoleh informasi sbb: Total penerbit kartu kredit sebanyak 20 institusi (bank dan non bank), jumlah kartu kredit yang beredar per akhir Desember 2009 sebanyak 12,2 juta kartu dengan total transaksi sebesar 17,5 juta transaksi dengan nilai mencapai Rp14,07 triliun. Non Performing Loan (NPL) rate per Desember 2009 sebesar 10,70% dengan nominal NPL tercatat sebesar Rp 4 triliun. Menurut AKKI (Asosiasi Kartu Kredit Indonesia), hingga akhir 2009, total sales volume industri kartu kredit baik dari sisi transaksi volume dan transaksi nilai masing-masing mencapai hampir Rp.14 Triliun. Total Merchant, masih menurut AKKI lebih dari 300.000 toko.

Pada tahun 2009, total outstanding mencapai Rp. 37 triliun atau meningkat 27% dibandingkan tahun 2008. Peningkatan outstanding tersebut tidak diikuti oleh naiknya NPL kartu kredit. Posisi NPL pada akhir tahun 2009 sebesar 10,7%, sedikit lebih rendah dibandingkan posisi pada akhir tahun 2008 yang mencapai 10,8%. NPL yang cenderung konstan tersebut mencerminkan kualitas industri kartu kredit yang terjaga dengan baik. Jumlah fraud kartu kredit sampai dengan Desember 2009 tercatat sebanyak 9.121 kasus dengan kerugian sebesar Rp. 52 miliar atau setara dengan 0,04% dari nilai transaksi Januari s.d Desember 2009. Jenis fraud yang paling sering terjadi masih didominasi oleh kartu palsu dan fraud aplikasi.

So, dalam LSPPU BI 2009 ini, tidak ada studi yang komprehensif mengenai dampak Gestun dan hubungannya dengan NPL. Pelarangan Gestun lebih didasari atas etika bisnis kartu kredit yang belum didukung oleh data analitis yang kuat. Bagi nasabah, gestun timbul karena adanya kesempatan memperoleh uang tunai dengan cost of fund yang relatif lebih kecil. Apabila dilakukan gesek tunai (cash advance) sesuai aturan di ATM, maka biasanya pihak bank akan mengenakan bunga yang tinggi, minimal sebesar 3,75% per bulan atau 45% per tahun. Seandainya bunga cash advance tidak begitu besar dan setiap bank lebih moderat menentukan bunganya maka tentu transaksi gestun bisa dikurangi.

Memang dalam PKS (Perjanjian Kerjasama) antara bank dan merchant lazimnya ada ketentuan yang melarang gestun tetapi pada prakteknya hal ini tidak efektif mengingat praktek bisnis gestun sebenarnya aman-aman saja sepanjang tidak terjadi default payment kartu kredit dari nasabah. Jadi ketiga pihak, bank-merchant-nasabah saling menguntungkan. Di satu sisi, volume penjualan (sales volume) naik, merchant mendapat fee, nasabah dapat dana tunai secara cepat dan mudah.

Tetapi bagaimana praktek gestun di luar negeri? Di AS dan Amerika Utara masalah gestun juga menarik perhatian para pelaku bisnis dan nasabah. Di sana, gestun tidak dilarang, bahkan ada NAMAA (North American Merchant Advance Association) yang merupakan perwakilan industri gesek tunai merchant. Melalui NAMAA, bisnis gesek tunai di merchant menjadi lebih efisien, efektif dan memiliki standar etika dan praktek bisnis yang fair. Jadi melalui NAMAA para cash advance provider ini menjadi lebih tertata rapih dan tidak semua merchant bisa menjadi cash advance provider. Salah satu contoh praktek NAMAA adalah merchant bisa membeli outstanding kartu kredit nasabah dengan bunga tinggi yang tentu sudah disadari oleh nasabah tersebut.

Terbentuknya NAMAA dilatarbelakangi oleh banyaknya usaha kecil yang membutuhkan tambahan modal tanpa proses yang berbelit-belit dari pihak perbankan. Dalam pembayaran terhadap gestun tersebut tidak ada ketentuan fixed payement, artinya semakin sedikit nominal gestun semakin ringan pembayarannya. Gestun di NAMAA bukanlah pada pengertian pinjaman (loan), namun dikenal sebagai credit and receivables funding, yang berarti pembelian piutang kartu kredit masa depan dengan pemotongan secara diskonto (the purchase of your future credit card receivables at discounted rate).

Surcharge

Masalah surcharge juga menarik perhatian bank dan pemegang kartu. Di Indonesia, beberapa merchant bahkan mengenakan fee tambahan kepada transaksi nasabah, biasanya antara 2% s.d 3%. Merchant biasanya melakukan hal ini dikarenakan volume penjualan yang kecil plus adanya MDR (merchant discount rate). Surcharge seringkali terjadi di toko-toko elektronik, komputer atau ponsel. Menurut PBI No.11 ini, surcharge memang dilarang dan pihak bank wajib memutuskan kerjasama dengan merchant tersebut.

Setali tiga uang, di negeri Obama, surcharge dilarang keras terutama pada Undang-undang mereka yang bernama “Truth in Lending Act” hasil amandemen tahun 1975. Hal ini terlihat klausula sbb: § 103. Definitions and rules of construction

(q)  The term "surcharge" as used in section 103 and section 167 means any means of increasing the regular price to a cardholder which is not imposed upon customers paying by cash, check, or similar means.

Jadi jelas sekali di AS bahwa surcharge dilarang keras dan illegal. Oleh karena itu, sebelum melarang gestun melalui PBI No.11 ini, seharusnya BI membuat Regulatory Impact Analysis (RIA) apakah gestun berakibat buruk pada kenaikan NPL, atau malah meningkatkan sales volume perbankan secara menguntungkan? Lebih aneh lagi, AKKI tidak punya data gestun secara kuantitatif di jajaran anggotanya.

Perlunya Hukum Kartu Kredit

Regulasi dan Hukum jelas berbeda. Regulasi dalam hal PBI adalah aturan yang hanya mengikat institusi dalam hal ini perbankan dan pihak-pihak lain yang terlibat. PBI tidak bisa mengikat individu, perorangan hingga ke ranah hukum. Oleh sebab itu pelaku pelanggaran terhadap gestun dan surcharge tidak bisa diperkarakan ke meja hijau secara hukum pidana. Artinya siapapun yang melanggar baik perbankan (acquirer) hanya dapat dicabut ijinnya saja oleh regulator, yakni BI. Sementara hukum (law) jelas mengikat semua warga negara tanpa kecuali. Hukum di atas regulasi.

So, dalam hal gestun dan surcharge, BI dan perbankan perlu duduk bersama untuk membuat aturan hukum (law) yang mengikat seluruh pihak baik individu maupun institusi. Sebab tanpa adanya hukum maka eksistensi praktek gestun dan surcharge akan terus menerus terjadi atas nama kepentingan bisnis. Tidak ada salahnya BI dan perbankan mulai membuat undang-undang tentang kartu kredit dan debit, mengingat sistem pembayaran melalui kartu sudah lama menjadi praktek bisnis di Indonesia selama berpuluh-puluh tahun. Selain itu, transaksi kartu kredit dan debit juga banyak dilakukan melalui media on-line/internet (e-commerce) sehingga perlu adanya hukum yang mengatur hal ini mengingat risiko transaksi di dunia maya sangat kompleks dan kemajuan dunia digital sangat pesat.

Penulis adalah Pegawai Bank BNI, Divisi Bisnis Kartu. Tulisan adalah Pendapat Pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun