“Rin, Rini....” panggilku kepada cucu semata wayangku. “Ia Kek, ada apa ?”, tukasnya. Sambil berbatuk kecil Kakek berkata, “Tolong, kamu belikan buat kakek obat batuk di apotek depan kompleks. Ini uangnya.” Dengan gerakan dan raut penolakan Rini berkata dan bertanya kepada kakeknya, “Gak mau Kek, soalnya lagi masa pandemi Covid-19. Kakek batuk-batuk gini, kena Covid ya ? “Gak cucu tersayangku. Penyakit ini muncul belakangan ini karena umur kakek yang sudah tua. 76 tahun, seperti umur negara Indonesia kita ini. Yang sedang kena Covid-19 tuh, Ayah, paman dan bibimu”. “Masa sih, kakek bohong sama Rini. Tadi pagi, Rini baru aja main bareng ayah di pekarangan rumah”, jawabnya dengan penuh kepolosan.
***
Rudi Antara. Ia adalah putra pertamaku sekaligus ayah dari Rini. Ia hanyalah seorang lulusan sekolah menengah atas. “Aku lebih baik buka rumah makan aja, lebih menghasilkan daripada duduk di bangku kuliah”. Ini adalah jawaban atas perintahku untuk menyuruhnya kuliah. Dalam hal ini, aku tak bisa memaksakan kehendakku atas dirinya, yang kuanggap sudah dewasa. Hal ini tak terlepas dari hobi dan ketekunannya dalam memasak sejak dari kecil. Ia sedari dulu belajar dengan adikku, Roni, yang sekarang menjadi juru masak di sebuah restoran bintang lima di pusat kota.
Usaha tak mengkhianati hasil. Dari yang awalnya hanya berupa tenda di depan rumah, kini adalah sebuah rumah makan yang besar dan elite di pusat kota, berjarak 50 meter dari restoran tempat pamannya bekerja. Ia memiliki pekerja yang berjumlah puluhan, berbeda dengan kondisi dulu. Hanya ia yang menngerjakan semuanya sendiri. Rumah makan ini adalah rumah makan bakso terlezat di kota kami. “Kuah terlezat di seluruh semesta”, komentar orang-orang setelah menikmati bakso di rumah makan Rizky.
Pandemi covid-19 membumi. Banyak hal-hal yang berdampak bagi roda kehidupan kota kami, termasuk bagi pelaku rumah makan. Aturan pemerintah memaksa untuk mentutup rumah makan yang penuh kejayaan. Omzet menurun dan para pekerja dirumahkan. Penjualan dilakukan secara online. Meskipun demikian, hal ini tak bisa mengembalikan apa yang telah diraihnya dahulu.
Kebutuhan memaksa dirinya untuk mencari pekerjaan lain. Akupun, selain anaknya,Rini dan isterinya bergantung padanya. Namun, Rudi adalah laki-laki yang tegar. Ia terus mencari secercah harapan di tengah badai kehidupan. Dengan semangat dan usaha yang besar, ia berperang dengan penuh kemuliaan. Menjadi pasukan relawan Covid-19, membantu keluarga dan masyarakat yang membutuhkan. Walau nyawa menjadi taruhannya.
***
Riri Antara. Anak perempuanku satu-satunya. Ia adalah guru di sekolah dasar swasta di kota kami. Hari-harinya selalu dipenuhi dengan keceriaan. Anak-anak. Itulah sumber keceriaan hidupnya. Tak heran jika ia sangat antusias dan bahagia saat Rini hadir di tengah-tengah keluarga kami. Ia menjadi bibi sekaligus pengasuh bagi Rini, yang saat itu masih balita.
Setiap hari ia bercerita kepadaku, tentang suasana kelas, tingkah konyol dan lucu anak-anak muridnya serta keceriaan-keceriaan lainnya. Senyum selalu mengembang dari bibirnya. Kecintaannya pada anak kecil sungguh membuat putriku sangat disukai oleh banyak orang, seperti orang-orang di sekolah dan tetangga-tetangga sekitar kami.
Pandemi Covid-19 menyerang kami. Hal ini juga berdampak pada dunia pendidikan di kota kami, termasuk sekolah tempat putriku mengajar. Kegiatan belajar mengajar menjadi daring, via Whatsapp dan Zoom. Ia hanya bertemu dengan muridnya dalam sebuah panggilan video. Pembelajaran daring ini sungguh tidak cocok dengan dirinya. Memang pembelajaran daring ini memiliki dampak yang positif dan negatif bagi berbagai pihak. Di sisi positf, orang tua dapat diajak untuk menjadi guru bagi anaknya. Belajar bagaimana mengatur anak dalam belajar dan merasakan suka duka menjadi seorang guru. Namun, sisi positif ini tak terealisasi secara nyata. Orang tua dari anak-anak ini malah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, sehingga anak-anak mereka terabaikan. Belum lagi ketidakmampuan orang tua dalam menyediakan media-media pembelajaran seperti smartphone dan laptop dan membeli kuota internet untuk pembelajaran daring ini.
Putriku sungguh merasakan suatu sesak. Keceriaannya berubah menjadi kesedihan. Ia tak tahan lagi dengan proses pembelajaran daring ini. Tak ada lagi kecintaannya pada anak-anak. Ia berhenti mengajar di sekolah. Suatu keputusan yang membuat diriku merasakan sesak.
***
Rizky Antara. Anak bungsuku yang masih lajang yang di usianya yang telah berkepala tiga. Ia adalah mahasiswa pascasarjana S-2 jurusan sastra. Ia sungguh mencintai sastra, khususnya pada puisi-puisi cinta. Tak heran, jika hidupnya dipenuhi dengan lika-liku cinta. Terkadang rasa gembira buncah, karena dapat memberi puisi cinta pada gebetannya. Selanjutnya, terbitlah rasa sedih dan galau akibat puisi cintanya ditolak dan dibuang ke tempat sampah. Akupun bingung akan kelakuannya yang ia bawa hingga usianya saat ini.
Sebulan lalu, datang kepadaku kabar gembira bungsuku ini. Ia sudah memiliki seorang pasangan dan langsung memperkenalkan sang gadis pujaannya itu kepadaku.. ia datang kepadaku. Meminta restu untuk menikah. Ia sungguh yakin bahwa mereka berdua adalah pasangan yang cocok, mantap dan serasi. Sebagai seorang ayah yang baik, aku setuju akan hubungan dan rencana pernikahan mereka. Syukur juga, orang tua pasangannya juga mengambil kata sepakat. Mereka memutuskan untuk menikah dua bulan ke depan.
Kesepakatan berubah menjadi kegagalan. Pandemi Covid-19 merebak dengan cepat di kota kami. Hubungan yang ada menjadi renggang dan mengajukan pertanyaan, apakah putus atau terus ? Tak ada pilihan atas dua kata di atas. Muncul kata baru yaitu duka. Rose, sang gadis pujaan Rizky, pergi meninggalkan keluarga dan anakku dengan penuh duka. Ia menjadi korban tabrak lari, sehabis pulang dari tempat kerjanya. Akibat kematian Rose, Rizky dipenuhi dengna duka. Separuh raganya hilang. Semangat hidup turun drastis. Kuliahnya mandek karena tak kunjung keluar kamar (keluar hanya untuk makan dan mandi). Ia terus meratapi foto sang pujaan hati yang meninggalkannya pergi dan terus membaca surat terakhir yang dikirimkan Rose bagi dirinya. “Keadaannya saja yang berbeda. Maafkan aku, Rizky”
***
Sang kakek mengingat semua rasa sesak itu. Pandemi Covid-19 ini sungguh membuat kehidupan keluarga kacau balau. Namun, ia tak bisa larut dalam kondisi yang buruk ini. Ia harus tetap kuat demi keluarga yang ia cintai. Walaupun ini sangat menghantam dirinya, yang sudah memasuki masa senja kehidupan
“Kok asyik dengar cerita kakek sih Rin ? Nanti kalau kakek sakit gimana ?. nungguin obat yang kakek minta”, ucap kakek untuk memecah suasana. “Oh iya Kek. Rini lupa. Rini pergi dulu ya.” Ucapnya dengan polos. Kakek tak merasa dan mengira, bahwa air matanya telah menetes berulang kali sejak memulai ceritanya. Dan hal itu telah membuka kesesakannya di depan cucunya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H