Mohon tunggu...
Leonardo Marboen
Leonardo Marboen Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

SD di Kampung SMP di Kampung SMA di kampung Kuliah di Medan Jangan malu jadi orang Kampung Jika engkau benar-benar dari kampung

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mendekonstruksi Teks Wisata Halal

6 September 2019   01:15 Diperbarui: 6 September 2019   02:21 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Protes rencana wisata halal di Danau Toba tak terhindari. Kebijakan yang bisa saja mengarah pada pertentangan yang bersifat destruktif. Ketika membaca kata Halal maka yang muncul kemudian dalam alam pikir pembaca adalah haram. Teks wisata Halal menghadirkan oposisi biner. Arti halal sesuatu yang diijinkan/diperbolehkan sementara lawan katanya adalah haram yang artinya sesuatu yang dilarang. Biasanya menyangkut makanan., walaupun dalam hal tindakan kedua kata tersebut tak jarang digunakan. Secara kebijakan bahwa pemerintah provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) sedang menyatakan bahwa selama ini Danau Toba sebagai wisata masih kategori "Haram". Dan sekarang mau dihalalkan. Apa tujuannya dalam kerangka bisnis wisata atau kelatahan ditengah geliatnya wisata bertemakan agama sehingga perlu pelabelan halal.?
Pemprovsu cq Gubernur membangun oposisi biner ( Ketika ada yang halal maka yang lain haram) . Oposisi Biner yang ditolak filsuf Jacques Deridda sang dekonstruksi teks . 

Konsep Wisata halal seolah menyatakan kebenaran tunggal bahwa wisata danau Toba masih "haram". Benar bahwa mayoritas penduduk sekitar Danau Toba beragama Nasrani,dan identik makan babi. Namun faktanya bahwa tidak semua makanan yang dijual di lokasi wisata Danau Toba adalah haram. Dan faktanya juga bahwa ada penduduk di sekitar Danau Toba beragama Islam. Dan jika lebih jauh tidak semua yang beragama Nasrani pemakan Babi. 

Saya sedang mendekonstruksi teks Halal yang melekat di teks wisata yang punya korelasi dengan fakta sosial. Dan secara kultural masyarakat lokal sudah lama bagian yang saling hidup berdampingan di antara yang berbeda agama.

Dengan kondisi di atas maka teks Wisata Halal secara makna menjadi kabur, karena tidak mengandung unsur-unsur yang kurang lebih menggambarkan keadaan. Bandingkan dengan Wisata Kuliner, yang memberikan makna bahwa lokasi wisata dimaksud menyediakan ragam menu. Contoh lain misalnya wisata bahari yang tentu berkarakter kebaharian. Ketika wisata Halal dialamatkan pada Danau Toba, justru menjadi keliru, sebab sejak dahulu ada tempat makan yang Halal buat pengunjung. Kata Halal memberikan ruang tafsir yang bisa saja selama ini Danau Toba dianggap haram oleh pengunjung sehingga perlu membuat kebijakan halal. Ini justru menegasikan kemajemukan masyarakat Sumatera Utara. Jangankan di Danau Toba, di daerah yang berpenduduk mayoritas Nasrani banyak ditemukan rumah makan Islam sebagai bagian dari keberagaman.

Dalam pesta adat Batak Toba yang beragama Nasrani juga ada secara khusus bagi undangan  (dalam bahasa Batak disebut "parsubang" dalam makna makanan yang bukan babi) atau dalam pengertian halal untuk dimakan. Tak ada masalah bagi yang tidak bisa makan yang haram,sebab kearifan lokal masyarakat khusunya di tanah Batak memberikan penghormatan terhadapnya.

Wisata Halal sebaiknya ditiadakan bukan hanya di Danau Toba tapi juga ditempat lain. Jika kita membaca arti wisata yakni bepergian bersama-sama (untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dan sebagainya). Orang berwisata bisa saja melihat  halal atau tidak.Tetapi tujuannya bukan untuk mempertentangkannya. Berwisata bisa dimaknai menikmati berbagai hal baik estetika lingkungan,budaya dsb. Ini semua berdasarkan keinginan dengan cara-cara yang berbeda bagi setiap orang. Salah satunya misalnya kearifan lokal justru menjadi khasanah pengetahuan bagi wisatawan.

Pun kalau ada tempat wisata di mana mayoritas penduduknya  beragama Islam,maka agama lainnya biasanya akan beradaptasi untuk menghormatinya, demikian sebaliknya.  Jika teks itu muncul sebagai akibat dimana masih  belum mengutamakan kebersihan,dan barangkali masih ada ternak babi yang berkeliaran (maaf jika saya salah /perlu update data) jawaban bukan soal halal. Jika  limbah rumah tangga ,dan mungkin saja dari kandang ternak  mencemari air Danau Toba bukan serta merta jawabannya adalah halal.

Mendekonstruksi teks wisata Halal saya maksudkan juga agar tetap menghargai perbedaan, keberagaman. Sudah selayaknya Gubernur Sumatera Utara membatalkannya . Semoga publik bermaksud baik dengan kritik yang konstruktif, tidak  masuk dalam cibiran dan makian yang justru membuat situasi memanas. Bagaimanapun pengambilan kebijakan perlu diberikan kritik dengan cara yang komunikatif. Katakan saja bahwa teks wisata Halal membangun pertentangan. Kata halal identik dengan satu agama tertentu,maka agama lainnya seolah terabaikan maka sebaiknya tidak menggunakan teks wisata halal untuk konteks Indonesia yang majemuk. Kita tidak sedang membangun pertentangan ditengah kuatnya gerakan indentitas. Tetapi bagaimana membangun peradaban agar selalu menghormati keberagaman. Dan kritik wisata halal lewat dekonstruksi teks memberikan ruang agar kedepannya dalam membuat konsep lebih memperhatikan aspek bahasa. Sebab teks bisa menyisakan tafsir yang justru membuat kekaburan makna, melahirkan oposisi biner dsb. Sebab Teks tidak sebatas tulisan dan diujarkan tetapi mengandung arti sosiologis dan psikologis.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun