Mohon tunggu...
Leonard Davinci
Leonard Davinci Mohon Tunggu... Lainnya - Ketika Aku Menulis Maka Aku Ada

Maumere - Flores - Nusa Tenggara Timur (NTT)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Surga Kecil Itu Belum Jatuh ke Bumi Cendrawasih

17 Juni 2020   16:06 Diperbarui: 19 Juni 2020   14:23 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Alit Ambara (IndoProgress)

Sebagai daerah dengan mayoritas umat Kristiani, maka pada situasi dan kondisi seperti ini, mungkin peran Gereja bisa lebih dioptimalkan. Tentu, peran Gereja harus sesuai dengan ajaran dan dogma yang diyakini. Gereja tidak akan terlibat secara aktif dalam ranah politik, yaitu tidak mendukung masyarakat Papua dalam urusan untuk menentukan kemerdekaannya. Gereja hadir tanpa ada bungkusan kepentingan apapun dan berusaha berada di tengah-tengah antara pemerintah dan masyarakat, merasakan penderitaan masyarakat sambil menyuarakan keadilan dan perdamaian. Memang, selama ini Gereja sudah sebagai 'tempat berteduh' dari sebahgian masyarakat Papua untuk menyampaikan harapan dan keprihatian mereka. Namun, Gereja melalui perwakilannya harus tetap semangat dan konsisten sebagai pelindung dan pengayom bagi semua lapisan masyarakat Papua. 

Menyadari tugas kenabian Gereja, maka para tokoh-tokoh Gereja, seperti uskup, pastor dan semua pimpinan tarekat religius harus bisa menjadi jembatan atau penyambung lidah masyarakat Papua kepada pemerintah. Lagi-lagi, posisi Gereja memang serba dilematis. Ketika Gereja berusaha untuk membangun komunikasi dengan masyarakatnya di akar rumput, Gereja dituduh dan dicap 'separatis' oleh Negara. Demikian pula sebaliknya, ketika Gereja berusaha untuk menjalin relasi dengan Negara, Gereja dituduh sebagai 'antek' atau 'kaki tangan' Negara oleh masyarakatnya sendiri. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan oleh Gereja adalah pendekatan yang humanis dengan mengedepankan upaya dialog. Namun, perlu dipahami oleh semua pihak, bahwa dialog hanyalah sebagai sarana, bukan sebagai tujuan. Prinsip utama dalam dialog adalah 'duduk sama rendah, berdiri sama tinggi' yang memungkinkan terciptanya keadilan dan jika keadilan tercipta, maka kedamaian bisa digapai bersama. Tentunya dalam upaya dialog, Gereja akan mengedepankan kebenaran, karena kebenaran adalah fakta dan kebaikan tertinggi yang harus dihormati oleh semua pihak tanpa terkecuali. Atas dasar inilah kita bisa mengambil contoh dengan melihat teladan dari sosok Almarhum Pastor Neles Kebadaby Tebay, Pr dan Almarhum Uskup Keuskupan Timika, Mgr. Yohanes Philipus 'Gaiyabi' Saklil, Pr yang sangat gencar mendorong upaya dialog sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah di tanah Papua. Kehadiran Gereja di tengah-tengah masyarakat Papua bisa menjadi pelipur lara dan harus tetap menjadi tempat berteduh bagi mereka yang belum bisa berteduh, agar masyarakat Papua benar-benar merasakan 'Surga Kecil' itu jatuh ke Bumi Cendrawasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun