Mohon tunggu...
Leonard Leonard
Leonard Leonard Mohon Tunggu... Dosen - Leonard Simangunsong

Dosen Program Studi Pendidikan Matematika dan Program Pascasarjana Universitas Indraprasta PGRI, sekaligus diberi kepercayaan sebagai Kepala Pusat Penelitian LPPM dan Editor in Chief Formatif: Jurnal Ilmiah Pendidikan MIPA (Terakreditasi Sinta 2).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membuat Titik Kritis Sendiri

24 Januari 2024   14:41 Diperbarui: 24 Januari 2024   15:52 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://gurubelajar.id/mengenal-istilah-dan-tujuan-peta-hidup-life-mapping/

Setelah membahas 2 dari 4 bagian penting (kenali dirimu dan memiliki impian) dari persiapan yang harus disampaikan kepada mahasiswa sebelum mengikuti pembelajaran dengan strategi pembelajaran tugas dan paksa, maka kali ini saya akan menuliskan bagian ketiganya, yaitu memiliki titik kritis. Apa itu titik kritis? Bagaimana titik kritis bisa membangkitkan semangat perjuangan seseorang untuk jadi sukses?

Saya memulai bagian ini dengan menunjuk 1 (satu) orang mahasiswa yang menurut saya sangat feminim dan salah satu cirinya menurut saya adalah menggunakan jilbab dan rok yang panjang. Mengapa? Untuk memberi kesan yang sangat ekstrim terkait perintah yang ingin saya berikan untuk dilakukan. Saya akan bertanya, "jika kamu diminta untuk berlari dari depan pintu kelas lalu melompat tembok setinggi kurang lebih se-leher, apakah kamu sanggup?" Biasanya yang bersangkutan akan berpikir dan akhirnya menjawab, "tidak bisa pak." Lalu, saya memodifikasi pertanyaannya, "sekarang bayangkan di belakang kamu ada seekor anjing besar yang galak dan siap menggigit kamu. Apakah sekarang kamu sanggup melompati tembok setinggi itu?" Spontan dia menjawab, "SANGGUP PAK!" "Jangankan setinggi itu, lebih tinggi dan sulit pun akan saya panjat sampai berhasil!"

Mengapa ada respon yang sangat berbeda? Padahal targetnya sama?

Jawabannya kondisi KRITIS.

Yohanes Surya dengan konsep MESTAKUNG-nya menjelaskan bahwa ada situasi kritis yang membuat seluruh sel-sel tubuh manusia bergetar hebat untuk menyeimbangkan dan berusaha melalui situasi kritis tersebut. Hal ini berlaku untuk seluruh aktifitas manusia, misalnya ada seseorang yang cenderung pemalu, tetapi begitu dihadapkan pada situasi kritis, maka dia akan berani berbicara kepada semua orang yang dia harus temui.

Pertanyaan pentingnya, apakah kondisi kritis ini harus diterima sebagai sebuah takdir atau bisa dibuat (artificial)?

Saya mengilustrasikan mengenai tugas kuliah yang harus dikerjakan oleh mahasiswa, katakanlah harus dikerjakan maksimal 2 minggu. Apa yang biasanya dilakukan oleh mahasiswa? Yaa.. biasanya mereka akan menunda mengerjakannya dan akan menjadi sangat tergesa-gesa saat deadline pengumpulannya sudah dekat (kondisi kritis yang dibuat oleh alam/waktu), sehingga dampaknya pekerjaannya akan kurang optimal. Bagaimana seandainya di dalam pikiran si mahasiswa dibuat sebuah kondisi kritis buatan (artificial critical situation), yaitu membayangkan bahwa tugas tersebut harus selesai dalam waktu 2 hari? Pastinya akan langsung dikerjakan dan ada waktu untuk memperbaiki hasilnya jika masih ada kekurangan. Apakah ada bayangan dari ilustrasi ini?

Contoh yang luar biasa lainnya adalah dari CASSIUS CLAY. Adakah yang kenal CASSIUS CLAY?

Yaaa, beliau adalah MOHAMMAD ALI, seorang petinju legendaris yang membangun titik kritis-nya sendiri dengan sangat hebat.

Bagaimana kisah Mohammad Ali yang akhirnya mampu menjadi juara dunia dan menjadi seorang legenda? Saya akan tuliskan dalam lanjutan materi ini.. Ditunggu yaa..

Lalu, apa implikasi yang saya dorong dari kelas yang saya ajar? Saya minta mereka menuliskan target nilai pada mata kuliah yang mereka ikuti di semester tersebut, lalu difoto dan kirim di group WA keluarga, teman, dan lain sebagainya. Mengapa? Agar ada yang menampar mereka saat mereka bersikap, berbuat, dan bertindak tidak seperti orang yang punya target besar dalam hidupnya.

Selamat berjuang...

See you at work

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun