Mohon tunggu...
Leo Kusima
Leo Kusima Mohon Tunggu... profesional -

Tidak lulus SMA karena sekolah disegel rejim suharto. berkecimpung di bidang transportasi (sistim transportasi) Jembatan/Jalan Layang khusus untuk motor dan sepeda

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menanggapi Debat Capres (3)

22 Juni 2014   18:27 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:49 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengenai ekonomi creative, saya menilai pemahaman ekonomi creative Jokowi masih dalam tahap pemula, kalo prabowo sama sekali tidak ngerti, sehingga dia tidak bisa menjawab.

Industri creative tidak salah, termasuk dalamnya misalnya industri souvenir, mengekspor software, musik, pertunjukan yang menarik.  kecuali dunia software yang nilai tambah nya cukup tinggi (satu dua kasus), pada umumnya penambahan nilainya sedang.  Industri creative tertinggi adalah dari penemuan (patent), karena value added dari patent sangat-sangat tinggi.  Saya sendiri pemilik patent penemuan, sehingga saya berani berkomentar demikian.

Apa itu patent penemuan?  Kita ingatkah, dulu bila kita mau meminum coca cola kaleng, kita harus ke dapur mengambil alat buka, dengan penemuan oleh seorang malas ke dapur ambil alat buka, dia terpikir mengapa tidak didesign suatu cara, ada alat pembukaan dikaleng, sehingga jika mau minum, tinggal tarik saja, maka ia ciptakan membuka kaleng dengan cara menarik suatu kuping yang sekarang kita nikmati, jika satu kaleng dia menagih 10 tupiah, setiap hari didunia memproduksi lebih dari 500 juta kaleng (tidak terbatas di minuman kaleng, termasuk makanan kaleng, kaleng bola tennis dan lain lain), satu hari nilai penemuan 5 miliar, satu bulan 150 miliar, satu tahun 1800 miliar, dan 20 tahun (patent dilindungi selama 20 tahun) 36000 miliar, atau setara 36 triliun.

Untuk melakukan penciptaan, harus ada lingkungan yang memadai, misalnya, seorang tentara yang hanya ngerti “siap, laksanakan”, sulit melakukan ciptaan, karena dia hanya ngerti tunduk kepada atasannya, dia tidak kreative.  bagi PNS yang hanya ngarti “enggeh”, juga tidak sanggup, tidak ada creativenya.  Patent saya adalah untuk menyelesaikan kemacetan kota (jalan layang khusus untuk motor dan sepeda), saya pernah ajukan ke Jokowi, dan Jokowi dari segi administrasi, cukup cepat “menanggapi”, tanya pendapat Dishub, dan saya ke Dishub, setelah diskusi, tidak ada jawaban dari Jokowi.

Ini hanya menunjukan Jokowi tidak ngerti apa arti pentingnya patent, mengapa amerika hebat perang, karena penemuan senjata dia hebat, bayangkan, suatu BOM ATOM yang hanya berapa ratus kilo bisa menghancurkan satu kota, ketika ilmuwan Jerman pertama kali menjelaskan kepada hitler, hitler tidak percaya, masa cuma secuil barang Uranium begini bisa menghancurkan satu kota?  dan ternyata ketika amerika menghadiahkan jepang dua bom atom karena jepang ngotot tidak mau nyerah, baru terbuka mata manusia, gila, satu bom bisa meratakan satu kota!

pembangkit tenaga nuklir juga sama, biaya listrik hasil pembangkit nuklir mungkin hanya 10% dari pembangkit batu-bara.

Memang tidak mudah mengerti patent, karena pencipta patent memang rata-rata orang yang sedikit sinting, dan Jokowi bukan orang sinting, sehingga dia sulit menyadar atas kehebatan patent.  apalagi ketika Jokowi dipengaruhi oleh orang-orang yang tidak ngerti technologi atau ilmu bersangkutan, dia perlu waktu untuk sadar patent.



NB : Patent jalan layang untuk motor dan sepeda untuk menjawab tantangan di Indonesia yang memiliki motor lebih dari 80 juta, dan “hanya” memiliki 15 juta mobil.  Jakarta dengan bangunan horisontal, tidak effisien memakai MRT dan Monorail, sedangkan jumlah sepeda motor di kota Jakarta 11 juta, daya angkutnya minimal setara dengan 11,000 bus, bahkan melebihi.  Untuk membangun satu lajur jalan layang untuk mobil/truk kira-kira 80 miliar sampai 100 miliar per kilometer, sedangkan untuk jalur motor/sepeda hanya 10 miliar per kilometer, dan tidak memerlukan banyak lahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun