Salut untuk para ibu yang berjuang menolak pabrik semen di wilayah pegunungan Karst, Kendeng, Jawa Tengah. Puncak aksi penolakan ini tentunya aksi pasung kaki dengan semen oleh 9 (sembilan) ibu di depan Istana Negara, teatrikal fenomenal, ironi jelata, sketsa dramatis nan apik tentang penindasan.
Tak dapat dipungkiri, aksi tolak semen oleh para ibu tersebut jauh mengungguli aksi tolak perkebunan sawit di banyak daerah nusantara. Media cetak, penyiaran, bahkan radio mendesiskan aksi oleh 9 ibu, belum lagi status di-wall media sosial alias Medsos, yang bertaburan komentar persemenan.
Sudah tahunan para petani di Kendeng Jateng menolak pabrik semen, aksi tenda penolakan telah 667 hari pula dilakukan di Rembang. Begitu pula sawit, bahkan sejarahnya sejak 1848 jaman kompeni Belanda.
Tentunya peninggalan kompeni ini kemudian mekar dan mengekspansi sebagian besar wilayah nusantara sejak rejim Orde baru, Orba, berkuasa. Sejak itu pula aksi penolakan telah dimulai, meski hanya penolakan bisu saat itu.
Pabrik semen merusak lingkungan, demikian pula perkebunan sawit. Jika petani Kendeng merasakan banyak mata air yang hilang, maka sawit dampaknya lebih parah lagi, tak hanya sumber air menipis, namun juga keanekaragaman hayati yang hilang, pemaksaan monokultur, hilangnya hak tanah, terinjaknya adat dan budaya lokal, represifitas pada masyarakat "kampungan", adu domba, lenyapnya hutan, hadiah kabut asap, dan banyak lagi.
Namun kenyataannya, setelah puluhan tahun, aksi tolak sawit ternyata tak sekeren dan sefenomenal aksi tolak semen. Mungkin, dan hanya mungkin, masyarakat yang tolak sawit harus melakukan aksi serupa di depan Istana Negara.
Jujur, akan menjadi sesuatu yang awkward alias canggung. Teatrikal gantung diri pada pohon sawit di depan istana? Yang pasti pikul sawit ke istana tentu tercium Secret Service-nya istana.
Berbeda sekali dengan peran 9 ibu yang memasung diri dengan semen, pengaktualan wajah Indonesia, perempuan dengan kebaya, petani lembah pula, tentu menyita perhatian mayoritas anak bangsa.
Namun membayangkan aksi tolak sawit, khususnya dari Kalimantan, dengan berpakaian adat, pasti memberi gambaran berbeda. Sudah beberapa sih rekan yang melakukan beragam aksi dengan pakaian adat Kalimantan di Jakarta, namun anehnya, masyarakat Bhineka ini bahkan cenderung mencibir, dipoles sindiran, orang pedalaman, primordial katanya.
Jujur, terhenyuh melihat aksi para ibu yang pasung diri dengan semen, perjuangan melawan penindasan globalisasi pundi rupiah. Terhenyuh yang melahirkan rasa terhenyuh lainnya, betapa kaburnya perjuangan lain, aksi tolak sawit. Rangkaian rasa terhenyuh tak mengurangi rasa hormat pada ibu-ibu yang melakukan aksi pasung menolak pabrik semen.
Hanya saja, betapa tolak semen menjadi lekuk yang sangat Indonesia, sementara tolak sawit seantero nusantara dicap sebagai antek asing. You know, para kompeni sejatinya tidak pernah pergi dari negeri ini, devide at impera.