Unik saat analis Amerika, Turki, dan Rusia, membedah kepentingan minyak Kurdistan. Tentu saja kerangka yang dibangun adalah kepentingan masing-masing negara.
Sederhana saja, sumber daya energi sebagai komoditas, pasti akan dijual. Pada siapa? Nah, arah ini yang sedang dibangun para "analis" asing, kemudian ditelan lokal menjadi analisa yang bulat.
Sejauh ini, lokal Indonesia melihat entitas Kurdi hanya semacam fariabel atas gerakan lainnya, pengisi sementara, faktor tambahan semata.
Faktanya, Kurdi adalah bangsa terbesar dunia yang tanpa negara (stateless), dengan diaspora mencapai 35-45 juta populasi. Bila melihat porsi tersebut, maka pantas mendapat prioritas dan perhatian dunia.
Namun yang terjadi tidaklah demikian, Kurdi menjadi sebentuk komoditas stabilitas, jumlah manusia begitu banyak hanya menjadi "poker chips", dan sungguh absurd lagi posisi Kurdi tersebut akibat penciptaan paradigma sentimentil melankolis.
Tentu saja posisi merugi Kurdi dan beberapa bangsa di jazirah tersebut akibat dicurangi perjanjian Sykes-Picot (1916). Pembagian wilayah di dasari kepentingan imperium Inggris Raya, mereka Kurdi terlupakan.
Jadi kembali lagi, sejak semula hak bangsa Kurdi sudah disangkal secara sistematis dalam suatu perjanjian pembagian wilayah jajahan.
Dalam lingkungan keras, Kurdi mempertahankan bahasa dan budayanya, mereka dianggap sebagai ancaman "homogenitas" kawasan. Orang pegunungan ini, hak politiknya dikebiri, ruang gerak dibatasi, bahkan "cultural cleansing" juga masif menimpa bangsa Kurdi, serta diskriminasi lainnya yang kita ingkari.
Gerakan Kurdi bukan sesuatu yang baru muncul, perjuangan Kurdi modern sudah berdekade, hanya saja kita menutup mata, menoleh lain, not in my concern.
Ketika bangsa kurdi menyuarakan pilihannya melalui referendum, itu bukan suatu kejutan, namun bagian dari rangkaian perjuangan panjang yang dilupakan dunia, so let it be.
Dalam cara pandang global yang empiris, pro kontra pada Kurdi adalah suatu yang wajar. Abnormalitas muncul saat memposisikan bangsa besar Kurdi sebagai fariabel atas kepentingan lain, bukan sebagai suatu bangsa sejajar untuk didiskusikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H