Gerakan anti vaksin, perlahan tapi pasti, terus berkembang seantero dunia. Berbagai alasan menjadi sandaran, kesehatan, teologis, bahkan politis, namun banyak tak menyadari gerakan yang katanya independen ini sesungguhnya didanai oleh sekelompok orang berkantong tebal, yang berkeinginan menggagalkan penggunaan vaksin dalam program imunisasi.
Ya, niat para fasistik untuk menghancurkan peradaban dunia ketiga, Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Tanpa vaksinasi, jelas melemahkan negara-negara dunia ketiga, berbagai penyakit akan mewabah, memusnahkan mimpi kebangkitan dunia ketiga menjadi kekuatan yang diperhitungkan.
Langkah para supremasis memang tak banyak disadari berbagai pihak, terutama anti vaksionis di berbagai belahan dunia, ironis, begitu butanya pengikut di dunia ketiga. Semua informasi sains palsu tentang vaksin disuplai dari kelompok fasis ini.
Ketakutan akan vaksin pun tercipta. Sebagaimana studi dari Dr Andrew Wakefield yang diterbitkan pada 1998, bahwa vaksin MMR menyebabkan autisme pada anak, yang ternyata memanipulasi data, dan kemudian dicabut ijin medisnya.
Wakefield sendiri merupakan ahli bedah, tak memiliki latar belakang vaksinologi, kecurangan dan manipulasinya diumumkan dalam majalah kedokteran Inggris British Medical Journal Februari 2011. (Baca juga: Imunisasi dan Komunitas anti Vaksin )
Dengan rumor bahaya vaksin, pengambil kebijakan dapat terperangkap dalam keputusan salah, ini tentu menyulitkan bagi negara seperti Uganda di mana 63 % anak belum mendapat imunisasi.
Pada 2011, isu menyesatkan bahwa vaksin campak menyebarkan HIV/AIDS dan menyebabkan kemandulan santer di Somalia, akibatnya campak menyebar dramatis di Modishu dan Puntland, lebih 100 anak harus kehilangan nyawa yang mayoritas di bawah usia 2 tahun.
Informasi yang menyesatkan dari para fasis di balik anti vaksin juga mempengaruhi keputusan India yang batal menggunakan vaksin Hib (Haemophilus influenzae type b). Padahal WHO (World Health Organization) menyatakan 20 % dari 400.000 kematian pnemonia terkait Hib atau sekitar 80.000 kematian terjadi di India. Gerakan anti vaksin India menggunakan langsung data hasil karya anti vaksin Inggris dan Amerika Serikat.
Dr Heidi Larson dari Kebijakan Program Vaksin Imperial College London, menyatakan gerakan anti vaksin yang muncul berdampak langsung pada keputusan dan kualitas kesehatan di negara berkembang.
Kelompok fasis di balik layar, terus menyebarkan kebohongan dan ketakutan mengerikan atas vaksin. Seperti informasi tentang tewasnya 4 gadis India setelah 24 jam menerima vaksin HPV (Human Papillomavirus) yang bertujuan mencegah kanker servik. Kenyataan sesungguhnya adalah, 2 diantaranya mengalami kecelakaan lalulintas, satu digigit ular, dan satu lagi jatuh ke dalam sumur.