[caption caption="Rubber tree_theravengroup.org_"][/caption]Ekonomi sedang sulit, gumamku dalam hati. Maklum usaha kecil yang ku rintis agak "terbatuk-batuk" lebih dari setahun ini. Namun, kesulitan tak mengurangi rasa syukur pada Ilahi. Sadar, lebih banyak ayah-ayah lain yang jauh lebih memendam perasaan di masa ekonomi merangkak ini.
Jadi teringat beberapa waktu lalu, saat ada keramaian di kota kecil ini. Tong edan keliling tiba di lapangan sepak bola, dua bulan lamanya singgah memberi keramaian pasar malam.
Suatu malam, seperti biasa ikut meramaikan, terlihat seorang ayah membopong anaknya sementara tangan kirinya memegang erat telapak anaknya yang lain, bersama sang istri mereka masuk melalui gerbang pasar malam.
Maklumlah, jika ada keramaian, orang dari kampung-kampung sekitar kota, pasti tidak ketinggalan menikmati. (orang kampung sebutan sehari-hari di Kalimantan, tidak memiliki makna merendahkan)
Pakaian yang dikenakan keluarga kecil itu biasa saja, bahkan tampak sedikit pudar karena terlalu sering dicuci.
Entah apa yang dibisikkan oleh si ibu kepada suaminya, namun mereka terhenti hanya sampai dua stan saja. "Dua tusuk sosis Bu, untuk anak saya," ujar sang bapak kental logat daerah kepada ibu penjual sosis yang berada di depan stan.
setelah membayar 2.000 rupiah, si Bapak mengambil dua tusuk sosis dan menyerahkan masing-masing satu tusuk kepada dua anaknya. Saat itulah terlihat senyum Bapak itu pada anaknya, begitu sesak dada melihat. Karena diriku tahu, senyum pahit demi menjaga ceria buah hati.
Suami istri tersebut kemudian membawa dua anaknya kembali dekat pojokan tak jauh dari gerbang masuk. Berdiri menyaksikan keramaian, tong edan berada di sisi lain dari lapangan, terang gemerlap dengan cahaya, sementara keluarga kecil tersebut hanya diterangi lampu roda dua yang sesekali lewat.
Tanpa sadar, aku membatin, berbisik sendiri, "Tuhan begitu sulitkah hidup kami saat ini..?"
Jauh sekali perbedaan, jika mengingat setiap keramaian lima tahun sebelumnya. Hiruk pikuk warga dari perkampungan yang berbondong-bondong, berjejal memenuhi pasar malam, namun sekarang berbeda, stan-stan dagangan sepi pengunjung.
Itulah yang terjadi, sudah tiga tahun belakangan komoditas karet harganya terjun bebas. Padahal komoditas ini yang menjadi penghidupan warga kampung, sebagian besar petani karet. dahulu karet dihargai lebih dari Rp 20.000/ kg ditingkat pengepul, namun saat ini hanya kisaran 5.000-an saja.