“Horas! Mejuah-Juah ! Njuah-Njuah!”
Sapaan khas etnis Batak tersebut bergema pada puncak acara Perayaan Kemerdekaan Indonesia Karnaval Danau Toba Minggu, 21 Agustus 2016 kemarin. Tahun ini, Danau Toba mendapatkan kesempatan untuk menjadi tuan rumah perayaan 71 tahun Indonesia merdeka di mana sebelumnya Kalimantan Barat telah mendapatkan kesempatan yang sama di tahun 2015 dengan tema Karnaval Khatulistiwa. Terdapat beberapa agenda besar di acara perayaan tahun ini yaitu di antaranya Panggung Apung berpusat di Parapat, Kabupaten Simalungun yang diisi oleh artis lokal dan nasional serta Karnaval Danau Toba yang dipusatkan di Balige, Kabupaten Toba Samosir. Kegiatan ini sekaligus memenuhi penantian rakyat Pulau Samosir selama 71 tahun untuk bertemu dengan pimpinan negara ini.
Mengapa Danau Toba? Danau Toba yang dikelilingi oleh 7 wilayah kabupaten di Sumatera Utara, telah menjadi 10 wilayah pariwisata prioritas pemerintahan Jokowi untuk menggenjot kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 20 juta wisatawan[1]. Beberapa program dicanangkan oleh Jokowi dengan membentuk Badan Otoritas Danau Toba yang nantinya akan mengejar ketertinggalan Danau Toba di bidang infrastruktur dari wilayah pariwisata lainnya seperti Bali. Beragam macam kegiatan baik bertaraf nasional maupun internasional digelar di wilayah ini seperti North Sumatera International Choir Competition yang telah selesai digelar, Festival Danau Toba yang rutin setiap tahunnya dan termasuk kegiatan Karnaval Danau Toba dengan harapan Danau Toba kembali merengkuh masa jayanya seperti sebelum masa krisis moneter.
Danau Toba sarat akan beragam etnis dan dipersatukan dalam satu suku yaitu Batak. Terdapat 6 puak dalam suku Batak yaitu Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing dan Angkola di mana Mandailing dan Angkola secara administratif wilayah tidak bersinggungan langsung dengan Danau Toba. Batak Toba sudah lebih dikenal masyarakat luas Indonesia dibandingkan dengan sub etnis lainnya. Beberapa bermasalah dengan itu namun beberapa tidak perduli dengan itu.
Karo bukan batak adalah salah satu gerakan yang diprakarsai sebagian masyarakat Karo sebagai bentuk protes senyap mereka akan kondisi tersebut. Gerakan ini aktif bergerak melalui beberapa media sosial. Alih-alih ingin memperkenalkan budaya Batak Karo ke Indonesia, malah yang terjadi pergesekan antara sub etnis Batak dan lebih mirisnya pergesekan terjadi sesama etnis Batak Karo sendiri. Beberapa generasi melek internet berusaha melawan sejarah dengan mengungkapkan apa yang mereka dapatkan dari kemudahan berselancar di internet. Karnaval Danau Toba menjadi salah satu media gerakan tersebut untuk menunjukkan eksistensi mereka melalui suara-suara sumbang yang sedikit menggemaskan.
Pemberitaan Bupati Simalungun yang menangis akibat pertanyaan dari sub etnis Karo, Simalungun dan Pakpak karena kurang ditonjolkannya budaya ketiga sub etnis tersebut di acara Karnaval Danau Toba seolah menjadi amunisi utama gerakan tersebut untuk mempertanyakan dan mengangkat kembali isu keabsahan nomenklatur Batak di sub etnis Sumatera Utara. Jelas sudah, permasalahan konsep dan agenda acara tidak dapat dijadikan pembenaran pengkotak-kotakan sub etnis di Batak. Pada akhirnya kelima puak tetap ditampilkan bahkan Jokowi sendiri melalui pidato pembukaannya telah menjadi penegasan kepada masyarakat nasional akan keberadaan kelima puak tersebut di tepi Danau Toba.
Demonstrasi yang dilakukan oleh salah satu ormas beratribut agama terhadap eksistensi makanan khas Batak Karo yaitu BPK cukup menunjukkan bahwa gerakan-gerakan pengkotakan Batak adalah gerakan omong kosong. Seluruh masyarakat bermarga asal Sumatera Utara, sibuk memasang badan untuk melakukan perlawanan kepada ormas yang melancarkan protes terhadap BPK. Masyarakat yang berasal dari sub etnis batak lain selain Batak Karo bersatu atas nama Batak tanpa memperhatikan dari sub etnis Batak mana mereka berasal.
Menyatakan karo bukan batak sama seperti menyatakan salamander bukan amfibi. Salamander dan katak berada dalam kelas amfibi namun, salamander bukanlah katak secara bentuk fisik. Kemampuan hidup di dua dunia menjadikan mereka satu kelompok amfibi. Demikian juga dengan karo. Karo bukan Toba dan itu benar karena terdapat perbedaan yang membedakan namun terdapat persamaan sejarah serta struktur bahasa dan budaya yang menjadikan Karo dan Toba masuk ke dalam suku Batak.
Sebenarnya, banyak cara lain yang dapat dilakukan ketika ingin sub etnis kita lebih dikenal. Salah satunya adalah dengan memperdalam pengetahuan tentang budaya kita dan membagikannya ke masyarakat luas. Ketika masyarakat mengira kita adalah Batak Toba, kita masih bisa menjelaskan bahwa kita adalah Batak Karo dan berikanlah informasi yang lebih dalam kepada mereka tentang Suku Batak. Niscaya tindakan kecil itu telah membantu masyarakat untuk mengerti tentang keragaman di Suku Batak. Yakinlah, hasilnya akan sama saja ketika kita memperkenalkan Batak Karo dengan cara halus dibandingkan cara yang secara tidak langsung “menyenggol” sub etnis lainnya.
Sungguh benar satu kata bijak berkata sejarah adalah aset yang berharga, membuang sejarah itu bagaikan membuang hasil-hasil penelitian berharga yang telah diteliti di masa lalu dan mencoba meneliti dari awal tanpa referensi masa lalu. Kekhawatiran berlebihan akan kurang dikenalnya sub etnis bukanlah diatasi dengan pengkotak-kotakan agar masyarakat lebih paham akan budaya masing-masing. Hentikan menggunakan pola pikir pendek sependek kesimpulanmu ketika mendapat informasi yang tidak akurat namun rasa bangga membuncah mencoba melenyapkan sejarah yang telah ada.
Segala sesuatu yang diawali dengan tujuan yang secara kasat mata terlihat mulia namun eksekusi keliru, hasilnya akan nol, minus mungkin.