Kasus “papa minta saham” yang dilakoni Setya Novanto menjadi topik hangat di berbagai media di tanah air. Bagaimana tidak menjadi sorotan, Setya yang merupakan Ketua DPR RI ini mencatut nama Presiden RI Jokowi untuk meminta saham pada Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Marief Sjamsuddin dan percakapan mereka terekam dan transkipan percakapan mereka tersebar luar di media dimana ada nama-nama pejabat tinggi negara disebut dalam percakapan itu seperti Jusuf Kalla, Luhut Binsar Pandjaitan dan lain sebagainya.
Beredarnya percakapan Setya dengan seorang Riza Chalid membuat banyak kalangan meminta Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mengusut kasus ini. Ditambah lagi, Setya berulangkali mengatakan bahwa Presiden Jokowi sebagai “Koppig” (keras kepala-dalam Bahasa Belanda) membuat Setya juga menjadi bahan ejekan para netizen di media sosial.
Kelakuan Setya Novanto yang bikin nama anggota dewan tercoreng bukan kali ini saja, beberapa waktu lalu politisi Golkar ini berkunjung memakai uang negara ke Amerika Serikat dan menemui bakal calon presiden AS Donald Trump dan mengatakan bahwa rakyat Indonesia mendukung Trump mejadi Presiden AS setelah Barack Obama.
Sekarang transkip percakapan rencana “perampokan” Setya Novanto sudah beredar luas, banyak bukti ditemukan bahwa Setya tidak patut melakukan lobi kepada Presdir PT Freeport untuk meminta saham. Namun sayangnya, masih ada saja orang-orang yang seakan melindungi Setya dalam kasus ini yaitu Fraksi Partai Golkar. Bahkan beberapa orang seperti Kahar Muzakir yang secara terang-terangan meminta kasus Setya Novanto ini ditutup.
Lalu apakah sikap Fraksi Golkar harus bersikap seperti itu? Membela mati-matian Setya meskipun sudah banyak bukti yang mengarah kepada dirinya. Sepertinya Golkar harus belajar banyak kepada Partai NasDem dalam menangani kadernya yang terlibat dugaan korupsi. Ya, NasDem memang partai yang baru namun konsistensinya terhadap pemberantasan korupsi harus diakui. Hal ini terlihat ketika mantan Sekjen NasDem Patrice Rio Capella ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap sebanyak Rp 200 juta dari Gubernur Sumut nonaktif Gatot Pujo Nugroho yang juga ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus penyelewengan dana bansos.
Sesaat sebelum ditetapkan menjadi tersangka, Ketua Umum NasDem Surya Paloh mengingatkan agar Patrice segera mengundurkan diri apabila terjerat kasus korupsi. Patrice pun sadar betul akan konsekuensi apabila terjerat kasus korupsi dia harus mundur dari partai mengusung jargon restorasi ini baik sebagai anggota DPR, Sekjen dan kader partai.
Dalam beberapa kesempatan bahkan Surya Paloh menegaskan tidak akan memberikan bantuan apapun terhadap Patrice dan fenomena ini berbanding terbalik dengan cara Golkar menangani kadernya yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Kalau kita bandingkan berapa keuntungan yang Setya Novanto dapatkan jika mendapatkan saham PT Freeport yaitu hingga ratusan milyar namun Patrice hanya terbukti menerima suap sebanyak Rp 200 juta namun NasDem dengan tegas tidak menolelir hal tersebut.
Saya pun merasa bukan hanya Golkar yang harus mencontoh NasDem, namun partai lain juga harus mengikuti langkah NasDem dalam menangani kadernya yang korupsi. Jika semua partai bisa melakukan seperti yang dilakukan NasDem maka hal itu akan menjadi sebuah efek jera bagi politisi nakal yang tidak amanah dalam mengemban kepercayaan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H