Tahun ini Jakarta telah memasuki usianya yang ke-485. Tidak lama warga ibukota akan melangsungkan hajatan demokrasi untuk memilih gubernur hingga masa 5 tahun ke depan. Sudah ada 6 calon pasangan cagub/cawagub yang resmi diumumkan oleh KPUD. Lalu harapan pun bermunculan apabila hajatan demokrasi akan memberikan solusi bagi masalah di ibukota. Persoalannya, tidak banyak yang menyinggung atau menjelaskan mengenai masalah yang sesungguhnya di ibukota.
Suksesi kepemimpinan daerah khusus ibukota selalu menjadi sorotan sepeninggal Ali Sadikin (alm.). Di masa itu, kepala daerah di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota dipilih dengan menggunakan sistem penetapan. Tetapi yang membuat berbeda dan istimewa, penetapan untuk Gubernur DKI Jakarta turut melibatkan campur tangan presiden secara langsung. Nilai strategis jabatan gubernur di ibukota seolah-olah setingkat dengan jabatan mentri kabinet, bahkan seringkali terkesan lebih istimewa ketimbang jabatan wakil presiden.Tetapi tidak banyak yang menyadari apabila dari sinilah titik awal dari seluruh permasalahan di ibukota.
Menguraikan Masalah
Jumlah penduduk di ibukota pada akhir tahun 2011 telah mencapai hampir 10 juta jiwa. Di siang hari atau pada jam aktif bekerja bisa lebih dari 12 juta jiwa. Tingkat kepadatannya rata-rata telah mencapai 146 jiwa per hektar atau sekitar 14.476 jiwa per kilometer persegi (Sensus tahun 2010) atau daerah tingkat kota dengan tingkat kepadatan tertinggi di Indonesia. Hingga saat ini, Jakarta masih dikatakan pada batas akhir layak untuk dihuni dengan melihat tingkat kepadatan dan jumlah penduduk, serta luas wilayah. Tetapi angka-angka tersebut baru diperkirakan untuk tahun 2024. Bisa dibayangkan percepatan laju pertumbuhan penduduk yang lebih cepat 12 tahun.
Kemacetan lalu lintas akan selalu ada di setiap kota besar, apalagi jenis kota metropolitan. Tetapi harus diakui apabila tingkat keparahan kemacetan lalu lintas di Jakarta sudah melampaui ambang batas kewajaran. Titik-titik kemacetan semakin meluas dan semakin meningkat kepadatannya. Tingkat keparahan kemacetan semakin meningkat, karena kemacetannya baru bisa terurai lebih dari 1 jam. Ada sebanyak 11 juta unit kendaraan bermotor di ibukota di mana sebanyak 3 juta unit kendaraan bermotor roda empat, sedangkan 8 juta uni kendaraan bermotor roda dua. Jumlah tersebut masih belum ditambahkan dengan banyaknya kendaraan yang masuk ke ibukota sebanyak lebih dari 700 ribu unit/hari. Sebagai catatan, upaya untuk membatasi jumlah kendaraan bermotor tidak akan dilakukan, serta telah menjadi komitmen nasional, termasuk komitmen dari para calon Gubernur DKI Jakarta.
Masalah banjir sebenarnya bukanlah persoalan baru, tetapi sudah menjadi masalah sejak terbentuknya Batavia. Terletak di dataran rendah yang dialiri oleh sungai utama, serta berada tepat di pesisir membuat kawasan Batavia sangat rawan terjadi banjir. Para gubernur jenderal di masa itu berupaya untuk memikirkan dengan rencana pembangunan banjir kanal timur dan banjir kanal barat. Di masa kemerdekaan sempat pula dibuatkan danau buatan dan wadu di beberapa tempat. Itu pun tidak akan menjadi solusi, melainkan hanya mengurangi risiko terjadinya banjir yang lebih besar.
Dari tiga masalah di atas kemudian memnculkan dampak sosial seperti kemiskinan, pengangguran, tingkat kriminalitas tinggi, premanisme, polusi udara, dan masih banyak masalah sosial lainnya. Tetapi hampir tidak pernah dipertanyakan apakah sesungguhnya masalah di ibukota?
Demokrasi dan Konsekuensinya
Ada sebuah pameo yang berlaku di dalam demokrasi, yaitu suara rakyat adalah suara Tuhan. Mungkin maksudnya suara rakyatlah yang mencerminkan kedaulatan untuk menentukan nasib, termasuk memilih pemimpinnya. Pertanyaannya, seberapa banyak masyarakat atau warga ibukota yang mengetahui permasalahan sesungguhnya di daerah mereka? Jika mayoritas di antara para pemilih tadi tidak mengetahui, lalu bagaimana jadinya sistem demokrasi akan menciptakan solusi bagi ibukota?
Permasalahan di ibukota bisa dikatakan cukup rumit untuk dipahami oleh masyarakat, terutama warga ibukota. Masyarakat metropolitan dikenal diri karakternya yang cenderung rendah tingkat kepedulian. Beban ekonomi keluarga yang cukup tinggi membuat mereka lebih banyak disibukkan perhatiannya untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Masalah dalam keseharian itu saja sudah menjadikan kebanyakan orang di ibukota berpikir relatif pendek (tidak mau repot). Bagi kebanyakan dari mereka, urusan/masalah di ibukota dianggap sudah ada pihak yang menangani, sehingga bagi mereka pula hanya cukup memilih pemimpin yang menangani.
Pemilukada bukan sekedar wujud dari sistem demokrasi, melainkan pula wujud sistem politik. Pada Pemilukada DKI Jakarta 2012, terdapat 4 pasangan calon yang didukung oleh parpol dan 2 pasangan calon independen. Dari hasil pengamatan yang sederhana, masyarakat umumnya masih mempercayai partai politik. Sistem politik akan menggiring opini publik tentang ibukota dan pasangan atau kontestan cagub/cawagub. Kekuatan politik pendukungnya akan menentukan pemenang yang berarti pula kekuatan uang. Harapan akan masalah-masalah ibukota yang dibawa oleh masing-masing kontestan hanyalah perias semata.
Lumrah jika setiap kandidat/kontestan di manapun akan mengumbar janji dan harapan agar dirinya dipilih/terpilih. Tetapi perlu digarisbawahi, apabila tidak ada suatu payung hukum yang mengatur janji-janji politik. Dengan demikian, apapun yang terjadi atau siapapun yang nanti akan terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta dan sesudahnya, warga ibukota haruslah siap untuk menerima segala konsekuensinya.
Merubah Cara Berpikir
Ibukota dan segala permasalahannya di belahan dunia manapun sesungguhnya tidak banyak berbeda, yaitu bersumber dari permasalahan nasional. Sistem perekonomian yang sentralistik dan berkaratker Jakarta Centralism di masa lalu menjadikan ibukota sebagai pusat harapan dan perubahan nasib. Tingginya kesenjangan antar daerah bukan hanya antara Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa, melainkan terjadi pada daerah tingkat propinsi ataupun kabupaten/kota di Pulau Jawa. Jakarta masih menjadi magnit perekonomian yang menarik jutaan orang setiap tahunnya dari berbagai daerah.