Mohon tunggu...
Lenny Wen
Lenny Wen Mohon Tunggu... -

Seorang ilustrator lepas sekaligus pecinta literatur yang sedang mencoba menulis beberapa buah pikirannya meski masih jauh dari kesempurnaan :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Ibu, dan Sang Perempuan

22 September 2013   13:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:33 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jadi aku akhirnya memutuskan hubunganku dengan sang Perempuan.

Setidaknya begitulah tekadku pada diriku sendiri, walau pada kenyataannya mungkin tidak akan ada yang mau memahami, apalagi menyetujui. Tidak, tidak akan ada.

Tapi memang begitulah tekadku, kataku pada ibu suatu hari. Saat aku menyampaikannya, ibu memandangku seakan aku sedang dirasuki makhluk gaib. Ah, ibu memang paling suka mengaitkan segala sesuatu dengan hal-hal berbau klenik atau mistis. Namun karena caraku menghaturkannya begitu yakin, begitu tegas, ibu tahu aku tidaklah sedang bersenda gurau. “Jadi ada apalah ini nak?”,imbuhnya setelah jeda sekian menit. Ekspresinya menyiratkan perpaduan antara entah harus tertawa atau meringis. Entah harus serius atau bercanda. Aku mendesah letih. Mungkin aku seharusnya tidak menyampaikan gagasanku itu. Harusnya aku menyimpannya untuk diriku sendiri saja. Kini sudah terlambat, kata telah terucap, gaung telah terkumandang, aku harus memberi penjelasan atas semua itu atau aku akan dibawa ibu ke dukun setempat atau apalah itu yang biasa menangani orang-orang yang mulai kehilangan ‘akalnya’.

Aku pun dengan enggan mengucapkan sekali lagi, “Ibu, aku tidak ingin lagi dikaitkan dengan sang Perempuan. Aku tidak mau lagi berhubungan dengannya. Aku berhenti”

Kening ibu berkerut. Kurasa baginya ini sesuatu yang sangat sulit dimengertinya, lebih dibanding rumus fisika manapun. “Apa sih maksudmu nak? Umurmu sudah hampir empat puluh tapi mengapa masih saja sulit ibu mengerti? Ibu sudah susah payah carikan pasangan yang baik untukmu. Sekarang, kamu berkata hal yang tidak ibu mengerti. Apa sih maumu nak?”

“Bukankah sudah kukatakan mauku? Aku memilih memutuskan hubunganku dengan sang Perempuan. Aku yakin itulah yang terbaik bagi kita semua. Dia sudah terlalu letih menanggung semua ‘kesalahan-kesalahanku’ yang seakan tak tertangguhkan. Sudah seharusnya aku dan ibu membebaskannya. Biarkan aku dengan diriku sendiri, dan dirinya dengan dirinya sendiri”

Hening terjadi. Ibu tampak berpikir keras sebelum akhirnya memandangku lekat-lekat seakan aku hewan liar yang hina. Pandangannya itu menyiratkanku satu hal: akhirnya dia mengerti.

“Anakku, tidak ada manusia di muka bumi ini yang bisa mengingkari kodratnya. Kau, ibu atau siapapun tidak bisa mengingkari Tuhan”, kata ibu dilematis. Kata Tuhan telah terucap, itu menandaskan bahwa ibu tidak ingin dibantah lagi atau aku akan menghadapi neraka di akhir hayatku nanti. Tapi kali ini aku tidak akan mengalah lagi karena tekadku sudah bulat. Aku tak peduli lagi akan neraka, dosa atau apapun itu jika memang ini akan menjadi kejahatan terbesar yang pernah kuperbuat dalam hidupku.

Dengan murka aku berkata, “Ibu, siapa pula yang menciptakan kodrat dan segala tetek bengeknya itu?! Itu bukan ciptaan Tuhan, berhentilah mengatasnamakan-Nya seakan dialah yang bertanggung jawab atas segala kepicikan yang diguratkan manusia! Sudah cukup sang Perempuan diungkit dan dipersalahkan karena apa yang kuperbuat dan kali ini tolong jangan menambah Tuhan di dalamnya”

Ibu terkejut mendengar kemarahanku yang sedemikian rupa. Biasanya aku lebih pasrah, lebih penurut—meski tak jarang membangkang—dibandingkan sekarang. Kata-kata kodrat rupanya telah menyulut kemarahanku lebih dari yang kukira. Maka tanpa memberi celah bagi ibu untuk membantah, aku kembali melanjutkan gagasan-gagasanku, perspektifku. Aku mengatakan aku tak ingin menikahi pasangan yang dipilihkan ibu. Biarlah aku digunjingkan orang-orang, biarlah aku menerima konsekuensi atas pilihanku sendiri. Biarlah orang menilai dan memberi stigma seenak jidat mereka atas diriku, itu jauh lebih baik dibanding aku harus menghabiskan sisa hidupku dengan pilihan orang lain yang pada akhirnya menjadi pilihanku juga karena telah menerima pilihan tersebut sehingga aku tak tahu harus menyalahkan siapa apabila suatu hari aku tak bahagia atas pilihan tersebut. Tapi penjelasan panjang lebarku tak memadamkan semangat ibu. Ia kembali mengungkit-ungkit sang Perempuan dan kodratnya. Bahwa semua kata-kata dan keputusannya demi kebaikanku sendiri dan ia yakin aku akan mengerti dan bersyukur atas semua itu suatu hari nanti.

Kurasa perdebatan ini akan berlangsung seumur hidup.

***

Aku mengepak barang-barangku dalam koper. “Jadi kau memutuskan untuk kabur?”, tanya ibu dengan wajah marah sekaligus letih. “Ya, aku akan meninggalkan Perempuan itu di sini, beserta semua kodrat-kodratnya dan membebaskan kita semua. Sudah kukatakan bukan, kita semua terlalu letih menanggung beban itu?” Ibu mendecak kemudian menggerutu sendiri sambil memegang keningnya seolah ada beban yang teramat berat di keningnya sehingga ia harus menahan dengan tangannya. “Kau satu-satunya yang kupunya setelah bapakmu tiada. Apa salahku hingga kau memperlakukanku seperti ini? Tak bisakah sekali ini saja kau menuruti kehendakku? Aku hanya ingin melihatmu bahagia dengan sebuah rumah tangga, anak-anak. Bukannya hidup luntang-lantung tidak jelas yang mengedepankan karirmu seperti ini”, mulut ibu mulai bergetar saat berkata-kata. Hal yang paling tidak kuinginkan di muka bumi ini adalah melihat ibuku menangis. Bagiku itu sama besarnya dengan siksaan neraka itu sendiri. Maka aku segera merangkulnya dan mengusap pundaknya untuk menenangkannya. “Ibu, mungkin bagi ibu inilah yang terbaik bagiku, tapi aku memiliki pilihan-pilihanku sendiri terlepas dari kodratku. Aku mungkin akan menikah suatu hari nanti, tapi tentunya tidak sekarang, tentunya harus melalui pertimbangan yang amat seksama” “Kau sudah berumur nyaris empat puluh, nak. Kau tahu, tidak akan ada lagi yang menginginkanmu seiring berjalannya waktu. Itu sesuatu yang tak bisa kau dan aku hindari sekalipun kita sangat menginginkannya. Kau tahu, sudah sejak lama para tetangga diam-diam menggunjingkanmu, menertawakanmu, bahkan melecehkanmu di belakangmu. Bukan hanya masalah pernikahan, tapi juga hal-hal lainnya. Tentang pakaianmu, jam pulangmu yang kerap larut, kehormatanmu, dan lainnya. Kau tak tahu betapa perihnya hatiku saat mendengar mereka mengatakannya!”, akhirnya air mata ibu tumpah ruah bersama tiap patah kata yang diucapkannya.

Jadi inilah sesungguhnya hukumanku, sebuah neraka bernama stigma yang disematkan dengan paksa kepada diriku, bahkan keluargaku hanya karena ‘kodrat-kodrat’ buatan manusia picik. Sebuah penghakiman yang dilakukan seenaknya atas dasar ‘kehidupan normal’ yang harusnya dijalani sang Perempuan. Aku begitu murka atas manusia-manusia picik itu, pada sang Perempuan, pada diriku sendiri.

***

Pagi-pagi sekali aku terbangun keesokan harinya. Setelah menimang semalam suntuk, akhirnya aku berbulat tekad atas keputusanku. Maka aku membersihkan diriku, mengenakan pakaian terbaikku kemudian memangkas rambutku pagi itu. Dengan tergesa aku meninggalkan rumah membawa secarik kertas dan melangkah ke lapangan bola kecil terdekat. Setelah memastikan lapangan masih sepi, aku mulai berbicara di dekat pengeras suara, memohon semua penghuni RT/RW terdekat untuk berkumpul di dekat sana. Jadi begitulah keributan pagi itu dimulai, semua orang bergegas ke arah lapangan tanpa tahu apa yang sesungguhnya terjadi, termasuk ibuku. Ada yang tampak masih setengah tertidur, ada yang berwajah panik, ada yang mengumpat karena keributan yang kutimbulkan. Singkat waktu, puluhan orang datang mengerumuni lapangan untuk mengetahui apa yang sebenarnya hendak dilakukan si bangsat pembuat keributan itu. Dengan sebuah pengeras suara di tangan, aku berterima kasih atas kedatangan semua tamu yang hadir saat itu. Wajah tak sabar, bingung, bahkan marah mulai terarah padaku. Sambil menelan ludah, aku bersusah payah melanjutkan maksud hatiku, jadi beginilah pidatoku:

Mohon maaf karena telah mengganggu waktu saudara sekalian.

Ada sebuah hal penting yang hendak kusampaikan pagi ini. Kurasa nyaris kalian semua mengenaliku, bukan begitu? Bukankah aku sering menjadi bahan terhangat pembicaraan kalian?

Baiklah, aku akan memperkenalkan diriku, karena toh aku bukanlah diri yang kalian kenal selama ini. Aku adalah aku. Aku bukanlah perempuan berusia empat puluh yang belum juga menikah seperti yang sering kalian perbincangkan. Aku bukanlah perempuan tak berakhlak yang tak menyadari kodratnya karena sering bekerja hingga larut malam dan mengenakan pakaian terbuka seperti yang kalian gunjingkan. Aku bukanlah perempuan yang tak terhormat karena telah kehilangan keperawanannya tanpa ikatan perkawinan seperti yang kerap kalian lecehkan. Karena aku mulai detik ini juga sudah berhenti menjadi sang Perempuan. Setidaknya Perempuan dalam benak kalian atau dalam ‘hukum’ yang kalian citrakan. Aku lelah begitu juga dia. Aku tak ingin lagi membebani sang Perempuan dalam citra kalian itu. Mungkin aku tak pantas, tak sanggup menjadi dia, dia yang sudah terlalu banyak menanggung beban penilaian dan penghakiman dari orang-orang. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Diriku yang bebas menjalani hidupku tanpa harus merasa bertanggung jawab untuk ‘memuaskan’ dunia. Aku lelah karena harus menanggung dosa atas busana apa yang kukenakan dan apa dampaknya pada orang lain hanya karena memang beginilah bentuk tubuhku sedari lahir, sama seperti pemilik restoran yang bingung dipersalahkan karena sekelompok manusia kelaparan menjarah restorannya. Aku tak sanggup menahan ceramah orang lain atas masa depan apa yang harusnya kuambil hanya karena tuntutan usiaku seakan aku karyawan kantor yang harus mengarang alasan akibat datang terlambat pada atasannya. Aku tak berdaya menghadapi sumpah serapah orang lain atas seksualitasku sementara mereka sendiri mengatasnamakan seksualitas diam-diam menikmati pelacuran bahkan memerkosa. Dan terutama aku mengutuk ‘kodrat’ yang diciptakan orang-orang dengan seenaknya sehingga mereka berhak menyematkan stigma padaku, atau siapapun hanya karena mereka mengira semua itu kebenaran yang dihidayahkan Sang Pencipta.

Keheningan menyambutku saat aku menarik napas untuk melanjutkan. Wajah-wajah mengernyit memandangku. Biarlah, batinku, aku kemudian melanjutkan,

Jadi demikianlah pidatoku. Aku meminta kalian berhenti menyakiti ibuku dengan kata-kata kalian. Juga sang Perempuan itu. Kami semua telah lelah. Aku, ibu dan sang Perempuan. Biarlah, biarkan kami tetap menjadi diri kami apa adanya. Tanpa kodrat, tanpa stigma, tanpa penghakiman dari kalian semua. Terima kasih.


Jakarta, 21 September 2013

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun