Setelah polemik Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) disudahi dengan keputusan tolak dari Mahkamah Konstitusi, kini dunia pendidikan kembali disuguhi polemik Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Pengamat dan pemerhati pendidikan sontak menolak. Alasannya RUU ini memiliki kelemahan yang mendasar yang mirip dengan UU BHP sebelumnya.
Dalam RUU ini, pendidikan tinggi akan dikelompokkan menjadi perguruan tinggi otonom, semi-otonom, dan otonom terbatas. Menurut pengamat pendidikan, paling tidak ada tiga hal yang menjadi kekhawatiran. Pertama, RUU ini memberi perhatian yang rinci kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan terkesan mengabaikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Beberapa BAB dan pasalnya konon menunjukkan diskriminasi tersebut. Aptisi (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia) telah mengeluarkan pernyataan sikapnya untuk menolak RUU ini.
Kedua, pendanaan dan pengelolaannya diserahkan kepada pihak universitas dengan dalih otonomi kampus. Kekhawatiran yang muncul disini adalah penetapan biaya pendidikan oleh Rektor yang akan tinggi. Hal lain yakni adanya upaya pemerintah untuk melepas tanggungjawab membiayai pendidikan. Hasil akhirnya adalah privatisasi dan bisnis pendidikan.
Ketiga, adanya aturan yang membolehkan kehadiran Perguruan Tinggi Asing di Indonesia. Jelas, alasan penolakan adalah, persaingan yang tidak proporsional.
Melihat suguhan polemik ini, satu kesan yang hadir dalam kepala saya, pemerintah ingin meningkatkan kualitas pendidikan dengan cara persaingan bebas. Dengan cara ini, institusi pendidikan diharapkan akan berlomba untuk mandiri, memperbaiki diri dengan memaksimalkan sumber daya yang ia miliki.
Jika dugaanku benar, maka mau tidak mau saya akan membahas Liberalisme. Sebuah paham yang telah dibahas ribuan kali hingga telinga ini jenuh mendengarnya. Membahasa hal ini mengingatkan kita pada diskusi panjang ketika masih riang-riangnya menjalani rutinitas perkuliahan. Apa boleh buat.
Dalam kamus bahasa Inggris kata liberal berarti bebas, atau leluasa tanpa tekanan dan kekangan. Tentu bukan sebuah pemaknaan yang buruk, namun apa jadinya jika kebebasan itu berarti persaingan tanpa aturan. Persaingan tanpa melihat proporsi, secara sederhana bisa dipahami “siapa kuat, dia menang”.
Baiklah, untuk memahami konsekuensi Liberalisasi Dunia Pendidikan, mari kita menengok contoh kasusnya dalam dunia Ekonomi.
Pada awal 2010 Indonesia melalui kesepakatan FTA resmi memberlakukan perdagangan bebas dengan China. Artinya produk Indonesia akan dilepas untuk bersaing dengan produk China tanpa aturan main dari pemerintah. Meski menuai penolakan dari pelaku ekonomi dalam negeri, pemerintah berdalih China merupakan pasar yang besar. Jika produk Indonesia bisa menembus pasar China dengan penduduk sekitar 1 milyar, maka ekonomi kita akan meningkat. Selain itu, Perdagangan Bebas juga diharapkan dapat mendongkrak kualitas produk dalam negeri untuk bersaing dengan produk China.
Bagaimana perkembangannya? Mari kita mengintip angka-angka neraca perdagangan Indonesia – China selama kurang lebih 2 tahun terakhir. Ternyata harapan belum sampai, malah jauh panggang dari api. Angka ekspor barang dari Indonesia ke China memang meningkat, namun angka Import barang dari China jauh melambung jika dibandingkan sebelum FTA. Artinya produk Indonesia kalah saing dengan China.
Lebih memilukan lagi, pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau sebelumnya bisa diberlakukan pajak bea masuk agar harga produk China yang murah bisa disesuaikan dengan produk dalam negeri, maka Perdagangan Bebas mengharamkan langkah tersebut. Dalam skema Liberalisme Pasar, produk dan pelaku pasar dibebaskan untuk bersaing tanpa aturan dan campurtangan pemerintah.
Bagaimana dengan pendidikan?
Perkiraan saya, sebelum bersaing dengan perguruan tinggi asing, persaingan dalam negeri sudah akan melenyapkan beberapa perguruan tinggi yang masih lemah manajemen dan sumberdayanya. Perbaikan kualitas mungkin akan terjadi, namun biaya pendidikan yang semakin tak terjangkau juga akan menjadi keniscayaan.
Jika sudah seperti itu, dimana peran pemerintah?. Tidak ada, karena RUU PT akan mengarah pada Liberalisasi Pendidikan, sulit untuk membantah hal itu, sebab skemanya terlihat jelas.
Kabarnya RUU ini masih ditangguhkan pengesahannya oleh DPR, meski sebelumnya sempat mengemuka akan disahkan pada 4 April 2012. Saya hanya berharap dunia pendidikan tidak dipandang dari kacamata bisnis, apalagi melonggarkan peran pemerintah dengan alasan peningkatan mutu lewat persaingan. Bukankah pemerintah mesti menjadi aktor utama, dan semua warga negara berhak untuk turut ambil bagian.
“Pasal 31, Undang-undang Dasar 1945: (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.”
Kutipan diatas tak kalah jadul –nya dengan pembahasan Liberalisme. Semoga masih relevan.
___
Ojan
Foto: nuril.student.umm.ac.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H