Mohon tunggu...
lentera di bukit jimbaran
lentera di bukit jimbaran Mohon Tunggu... profesional -

lahir di jakarta, tumbuh, malang melintang dalam kehidupan metropolis jakarta dengan segala hiruk pikuknya dan ketika orde baru tumbang lalu hijrah ke Bali, sampai sekarang. senang menulis apa saja, mengolah kata-kata menjadi kalimat-kalimat dan paragraf, selain untuk ungkapkan rasa dan pikir, juga dalam rangka karsa-nya sebagai lentera, berbagi terang yang menghangatkan kepada sekitar. saat ini masih tetap berproses menjadi \\\"manusia yang adaptable, understanding, dan rahmat bagi alam semesta\\\".

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ibrahim, Burung Pipit, Cicak, dan Ismail

4 Mei 2019   17:00 Diperbarui: 4 Mei 2019   17:13 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Masih ingat kisah Firaun yang membakar nabi Ibrahim, lalu seekor burung pipit mencoba membantu memadamkan api dengan membawakan air sedikit demi sedikit, sedangkan seekor cicak menipkan api dengan maksud memperbesar api?

Kisah ini bertebaran jelang pemilu, agar banyak masyarakat yang menyumbangkan suaranya, tidak golput, juga dimarakkan dengan makna 'keberpihakan".

Menurut saya,kisah ini bukan tentang keberpihakan. Kisah ini lebih dimaknai bahwa api adalah wujud kemarahan Firaun, dan kita diminta untuk menjadi burung pipit yang sedikit demi sedikit memadamkan api kemarahan (dalam diri kita) maupun kemarahan orang lain. Dan jangan menjadi seperti cicak, yang justru memperbesar kemarahan orang lain.

Sederhana, tapi sulit menerapkannya.

Sama halnya dengan makna pengorbanan nabi Ibrahim untuk  menyembelih anaknya Ismail. Tentu amat mudah bagi Allah Azza wa Jalla untuk memadamkan api itu, seperti Allah menggantu tubuh Ismail tepat sebelum pedang menyentuh lehernya, menjadi seekor kambing. Mudah, amat mudah bagi Allah dengan kekuasaanNYA.  Tapi bukan makna menyembelih itu yang diinginkan. Allah ingin kita berkurban dengan sesuatu yang  paling berharga dalam hidup kita. Satu-satunya milik kita, dengan keihklasan. Mengapa anaknya satu-satunya yang diminta Allah untuk dikurbankan oleh Ibrahim? Ini juga punya makna, tentang sifat kekanak-kanakan yang harus kita penggal dari diri kita. Ketika kita berkurban, maka sifat kedewasaaan seseorang yang harus dihidupkan dengan mematikan sifat kekanak-kanakan.

 Berkurban dengan seekor kambing itu mungkin sederhana dan mudah bagi yang mampu, tapi membunuh sifat kekanakan itu yang amat sulit diterapkan.

Semoga bermanfaat..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun