Mohon tunggu...
lentera di bukit jimbaran
lentera di bukit jimbaran Mohon Tunggu... profesional -

lahir di jakarta, tumbuh, malang melintang dalam kehidupan metropolis jakarta dengan segala hiruk pikuknya dan ketika orde baru tumbang lalu hijrah ke Bali, sampai sekarang. senang menulis apa saja, mengolah kata-kata menjadi kalimat-kalimat dan paragraf, selain untuk ungkapkan rasa dan pikir, juga dalam rangka karsa-nya sebagai lentera, berbagi terang yang menghangatkan kepada sekitar. saat ini masih tetap berproses menjadi \\\"manusia yang adaptable, understanding, dan rahmat bagi alam semesta\\\".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Denting 'Ping!' dan Rahasia Hati

2 Agustus 2012   01:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:20 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin di antara banyak lelaki yang kutemui, justru dialah yang dengan jujur mengatakan padaku, bahwa dia mudah jatuh hati kepada kesedihan. Lelaki itu begitu lembut, hatinya mudah luluh jika ada perempuan menangis dan sedih.

Dan itu membuatku sadar, bahwa mungkin, dialah lelaki  yang tidak akan pernah jatuh hati padaku. Sebab selalu aku mampu menyembunyikan sedihku. Tawaku yang berderai-derai, candaku yang tak henti. Ketika sedihku di hatiku mulai menampakkan diri di permukaan, biasanya tak kubiarkan dia melarut berlama-lama. Segera kualihkan, dengan berbagai macam cara.

Padahal lelaki itu, mungkin telah membuatku jatuh hati lagi setelah berpuluh tahun lalu. Bagaimana aku bisa membuatnya jatuh hati, jika yang membuat hatinya luluh tak bisa kulakukan? Harapan yang kupendam menjelma menjadi mimpi. Mimpi-mimpi yang berbeda dengan tokoh yang sama. Lelaki itu.

Mimpi, itu memang bukan satu-satunya ruang temu untukku berbagi rindu dengan cinta yang telat tiba. Tidak.... Ada banyak ruang temu lain, di dunia maya. sms-sms kami yang begitu banyak merangkai anak kalimat. Bak pujangga kami tuangkan segala rasa. Cukupkah itu? Tidak juga...

Di antara denting 'ping!' yang tak pernah berhenti dari gadgetnya, kita ciptakan ruang temu rahasia, bukan dalam mimpi. Meski aku tau, bunyi-bunyi 'ping!' itu bersumber dari perempuan yang meluluhkan hatinya, yang membuatnya jatuh hati... tangan kami tetap bergenggaman, bibir kami menyatu, lidah kami saling memagut, tangannya tak henti menjalari seluruh tubuhku...

Dia jelas tau aku jatuh hati padanya... cinta yang terlambat diungkapkan. Dan dia tau bahwa aku tau ia jatuh hati pada perempuan lain yang membuat hatinya luluh karena kesedihan-kesedihan jalan hidup yang membuatnya menangis. Dia tau bahwa aku tau dia mudah jatuh hati pada perempuan yang begitu lemah, yang bisa bersandar di bahunya, dan menangis sepuas hatinya.

Kemudian dia menyebutku wonder woman. Perempuan tegar yang hidup sangat mandiri jauh di perantauan. Disebutnya itu, juga pada teman laki-lakinya ketika kami duduk bersama, sambil direngkuhkan lengannya di bahuku, diusapnya rambutku dengan lembut. Aku bergetar karenanya.... Hatiku benar-benar jatuh, luluh. Tak pernah ada laki-laki yang memperlakukanku seperti itu, Di depan orang lain, tanpa ragu dicubitnya pipiku, diciumnya, dan dibelainya rambutku. Ah, Wonder Women, itu yang dia sebutkan. Padahal itu perempuan yang pastinya tidak akan membuat hatinya luluh dan jatuh hati padaku.

Khawatir. Sesak. Ragu. Padahal itu dilakukannya jelang keberangkatanku ke tempat yang makin jauh. Dan setelah itu, Ramadhan pun datang. Dia semakin menjauh. Kami tak bisa lagi bertemu, di dunia nyata atau di dunia maya. Tak bisa lagi sms-an di siang hari, dan malam hari aku tau dia akan sibuk dengan ibadahnya. Lebih dari itu, tak ingin aku mengotori kesucian bulan ini, keindahan ibadah-ibadah di dalamnya, buatku dan dirinya.

Kalaupun wonder women tak akan membuat hatinya luluh dan jautuh cinta, aku ingin menjadi olive oyl, yang dengan kelemahlembutannya justru memperkuat Popeye. Haruskah aku mengubah diriku menjadi wanita lemah yang akan bergantung padanya? yang bisa merebahkan kepalaku dan menangisi kepedihan hatiku di bahunya?  Tidak. Ternyata tidak bisa. Aku hanya bisa melakukan itu diam-diam dalam kesendirian, pada bantal-bantal dan gulingku, atau menangis deras dan keras berbareng dengan derasnya air pada keran kamar mandiku, sehingga tetangga tak akan tau... Aku tak mampu mengubah kebiasaan ku yang tumbuh sejak masa kecilku untuk meluluhkan hatinya dan membuatnya jatuh hati padaku.

Aku tak ingin kehilangannya, aku tak mau ia menjauh untuk kedua kalinya, setelah puluhan tahun kupendam cintaku. Meski tak mungkin untuk memilikinya utuh. Biarlah, di antara cinta yang datang terlambat, di antara denting 'ping!' BBM-nya dengan kekasih hatinya, di antara status dan komen di facebooknya, di antara kerumunan teman perempuannya, di antara canda teman-teman lelakinya, di antara perempuan-perempuan dalam rumah tangganya, cukup kupejamkan mataku untuk sampai di sana, di ruang hatinya. Jika puluhan tahun lalu, aku mampu melakukannya, barangkali beberapa tahun yang tersisa, aku pun bisa....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun