Dulu kamu selalu bilang, hubungan ini dijalani dua kepala, tidak bisa kalau hanya satu saja yang berjalan, dulu kamu bilang aku hanya ingin diakui menjadi seorang yang kamu anggap penting dan selalu menjadi prioritas, dahulu keinginanmu begitu sederhana yaitu hidup damai saling membangun langkah bersama, saling menyemangati bersama, saling mendekap dan saling berbagi, dulu selalu kamu berharap kita saling mendoakan dahulu saling, saling, dan saling kata yang sering terucap dari bibir indahmu.
Sekarang kamu, kamu, ya kamu. Selalu kata itu yang kamu lotarkan dari bibirmu, kamu harus bisa membuktikan padaku bahwa kamu bisa dewasa, kamu bisa menjadi kuat, kamu tidak akan mengeluh, kamu selalu siap untukku, selalu memberi ku perhatian karena aku adalah milikmu dalam hal ini hati yang beranggapan seperti itu, entah hati mu. Sekarang kamu begitu selalu begitu kepadaku, hingga timbul pertanyaanku, sampai dimana aku tau tentangmu.
Nanti, nanti akankah kamu berubah menjadi sesuatu yg bisa berjalan berdampingan, sesuatu yang bisa memberi tanpa harus meminta, bisakah nanti bisa saling memberi bahagia, tau kah kamu nanti kita akan selalu menjadi satu, nanti kita ini satu, bukan antara kamu dan aku, tapi nanti aku dan kamu adalah kita, bisakah kamu menjadi kita, bisakah membiasakan aku dan kamu menjadi kita, sudah tidak aku dan kamu lagi. Sadarkah kamu kali nanti sudah tidak ada lagi aku dan kamu, sadarkah kamu nanti kita akan bersama, akan kah kamu mengerti nanti dari saling memiliki, akan kah kamu bisa menghapus dendammu dimasa lalu untuk melangkah ke gerbang baru. Nanti, nanti, ya ini menyangkut nanti, akan kah kamu mengerti, tolong nanti dan nanti aku menanti utuk nantinya kemabali, aku kamu menajdi kita. Itu masalah dulu sekarang dan nanti…beda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H