[caption caption="Ilustrasi: Shutterstock"][/caption]“Dari ujung gang, lurus saja” katamu
Tempo malam kau lukis kelu
Di wajah-wajah lesu
Yang tak hentinya memeram jemu
Katamu kau seorang pujangga ternama
Tempo malam habis diperkosa
Oleh trotoar tua,
Dalam denyut denyut kota
Malam itu kau membaca sajak risau
Pada aspal yang membentang diseluruh pulau
Aku yang buta bahasa hanya bisa mengigau
Mendengar teriakanmu yang parau
Malam itu, kau hanya ingin di dengar
kau ingin merasakan hati mereka gemetar
Tentang bunga-bunga di pekarangan rumahmu yang gagal mekar
dan tentang jeritan petir yang menggelegar
Mana bisa kau jadi pujangga?
Sedang panggungpun tiada
Ah, kau hanya memimpikan sesuatu yang fana
Lihatlah, tak ada kursi penonton, atau panggung wah disana
Kau ingin menangis, melihat pelawak-pelawak diberi panggung megah
Tawa mereka sangat mewah
Saban hari membuang sampah
Dari layar-layar TV rumah
Dan kaupun semakin ingin menangis,
Melihat mahasiswa-mahasiswa yang mengemis
Yang menerjang gerimis
Di jalanan kota amis
Tapi, kau hanyalah pujangga trotoar
Yang alpa di dengar
Sebab syair-syairmu hanyalah nyanyian burung camar
terhembus samar-samar
Terselip di ketiak belukar
Semarang, 19 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H