Melampaui Kode AI
Puisi Oleh Leni Marlina
Kita berjalan dalam era cahaya,
Di mana mesin merangkai angka tanpa nyawa,
Namun hati, jiwa, tak pernah bisa tersentuh,
Oleh kode dingin yang tak punya rasa.
Pramoedya menorehkan kisahnya,
"Menulis adalah perlawanan terhadap sunyi," katanya.
Bukan sekadar kata yang mengalir di atas kertas,
Namun jiwa manusia yang berbicara dalam setiap aksara.
Apakah AI, kecerdasan buatan, mengerti rindu yang perih?
Atau getir manisnya peluang yang pergi?
Hanya manusia yang mampu merajut luka,
Menjadi cerita yang menyentuh hingga ke sukma.
Di ruang kelas, guru tak hanya bicara,
Tapi menyalakan api dalam jiwa yang hampa,
Menuntun dengan cinta, bukan hanya ilmu,
Menghadirkan makna dalam setiap langkah yang rapuh.
AI mungkin memberi jawaban tak bernada,
Namun tak bisa memeluk jiwa yang terluka,
Karena pendidikan bukan sekadar pengetahuan,
Ia adalah kehidupan, dan kita adalah jantungnya.
Dalam kepemimpinan, empati adalah lentera,
Tiada algoritma yang mampu menggantinya,
Semangat Chairil Anwar yang ingin hidup seribu tahun,
Menyulut nyali, menyalakan kobar di setiap hati.
AI bisa menghitung, bisa meramal,
Namun tak mampu menggugah dengan senyuman,
Takkan bisa memimpin dengan kelembutan,
Atau menenangkan jiwa di kala badai datang.
Maka biarlah mesin mengurus yang tanpa jiwa,
Yang tak butuh cinta, tak perlu rasa,
Sementara kita, seniman, pencipta, pendidik, Â dan pemimpin sejati,
Akan terus mengukir dunia ini dengan cinta dan arti.