Diantara Arus Banjir yang Mengamuk
Oleh Leni Marlina
Engkau berjalan di antara arus banjir yang mengamuk, Â
Banjir setinggi pinggang meremas tubuhmu, dingin dan berat. Â
Ibuk, dengan napas tersengal, engkau gengam mesin jahitmu,
Mengangkatnya di atas kepala seakan menyelamatkan nyawamu sendiri.Â
Â
Air keruh mencengkeram kaki, namun di dadamu, Â
Ada harapan yang tetap mengapung, meski dunia di sekitarnya tenggelam. Â
Mesin jahit itu bukan sekadar alat, tapi denyut kehidupan, Â
Sebuah warisan yang tak ingin hanyut, Â
Sebuah harapan yang ia bawa dengan cinta yang tak pernah padam.
Di kejauhan, Bapak, engkau dengan mata redup penuh lelah, Â
Memikul pacul dan parang di tengah air yang merayap hingga pinggangmu. Â
Setiap langkah adalah perjuangan melawan arus, Â
Namun tanganmu tak pernah melepaskan alat-alat itu, Â
Alat yang mewakili mimpi-mimpi yang tertanam dalam lumpur, Â
Mimpi yang tak bisa dipatahkan oleh banjir maupun badai. Â
Engkau tahu, tanah baru menunggu di ujung hari, Â
Meski hari ini ladangmu terkubur oleh deras air yang tak berbelas kasih.
Dan anak-anak, Â
kaki-kaki kecil yang berjuang melawan air hingga dada. Â
Dingin merasuk tulang, namun tangan kalian tetap terangkat tinggi, Â
Menjaga tas dan buku-buku, harta berharga yang tak boleh tenggelam. Â
Seragam yang basah menempel pada kulitmu yang rapuh, Â
Tapi dalam tas itu tersimpan mimpi yang tak pernah goyah, Â
Mimpi yang kalian bawa dengan hati penuh tekad, Â
Meski banjir malam itu ingin menenggelamkan segala asa.
Engkau, Ibuk, Bapak, dan anak-anak, Â
Bukan kesedihan yang kalian bawa di tengah bencana ini, Â
Melainkan keyakinan yang lebih dalam dari banjir yang melanda. Â
Air setinggi pinggang orang dewasa dan setinggi dada anak-anak, Â
Tak mampu meruntuhkan semangat yang kalian junjung. Â
Harapan kalian tetap bertahan, mengapung di atas arus, Â
Seperti doa-doa yang tak pernah lelah menggapai langit, Â
Dan kalian percaya, di ujung banjir malam ini,
Akan ada lahan baru dan  mentari yang menanti, menghangatkan luka yang tak terlihat.
Padang, Sumbar, 2024