Mohon tunggu...
Leni Marlins
Leni Marlins Mohon Tunggu... Freelancer - freelancer

hobi menulis tentang banyak hal untuk menyampaikan ide

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setelah Cuti 3 Bulan, Siapa yang Akan Merawat Anak?

10 Maret 2016   11:35 Diperbarui: 10 Maret 2016   17:11 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya, pertanyaan ini sangat klasik. Mengapa demikian? Karena hampir semua ibu pekerja pasti dihadapkan pada dilema pengasuhan anak setelah masa cuti melahirkan selesai. Bahkan, jika sang ibu memiliki dana untuk mempekerjakan babysitter, menyerahkan anak untuk diasuh orang lain bukanlah keputusan mudah.

Idealnya, sang ibu ingin merawat sendiri buah hatinya, menjalani masa-masa tumbuh kembang anak (minimal 1000 hari pertama) dengan gembira, dan menyuntikkan konsep-konsep yang baik dan benar kepada anak supaya bisa menjadi generasi penerus yang mumpuni.

Pilihan yang tentu saja menggoda adalah berhenti dari status sebagai "pekerja" dan fokus seratus persen menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Namun, tidak semua wanita diberi "kesempatan" dan "kelebihan" untuk serta-merta resign dari pekerjaan dan membiarkan suami menjadi satu-satunya pencari nafkah. Di masa ini, biaya untuk kebutuhan rumah tangga terus meningkat. Bila tidak ditopang oleh dua orang, mungkin hanya sedikit yang bisa bertahan hidup.

Jadi, begitulah. Pertanyaan mengenai bagaimana anak menjalani hari-harinya setelah sang ibu kembali bekerja adalah pertanyaan yang gampang-gampang susah untuk dijawab.

Secara pribadi, saya ingin sekali menjadi ibu yang merawat anak secara full time. Saya membayangkan banyak hal yang bisa saya ajarkan sendiri padanya. Kami akan mencari tahu berbagai hal bersama-sama sembari melihat dunia yang merupakan pengalaman baru baginya. Betapa menyenangkan. Namun, tentu saja, tidak semudah itu. Jika menghitung dengan teliti, keputusan itu bisa berdampak tidak baik bagi roda perekonomian rumah tangga. Jatuhnya bukan bahagia malah akan memperburuk suasana dan masa depan anak bisa-bisa terancam karena orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhan anak dari segi finansial. Dengan berat hati, saya mengenyampingkan kesempatan itu.

Lalu, apa pilihan selanjutnya?

  • Meminta tolong kepada salah seorang anggota keluarga untuk mengasuhnya sementara kami sebagai orangtua bekerja. Pilihan ini adalah yang terbaik dari semua pilihan. Bagaimana pun, mempercayakan anak kepada anggota keluarga cukup menenangkan (meskipun masih lebih baik diasuh sendiri). Setidaknya, ada "hubungan" darah yang tak bisa diingkari yang memperkuat rasa percaya orangtua (meskipun juga tak selamanya alasan ini bisa dipegang alias tergantung siapa yang akan merawat). 
  • Mempekerjakan seorang babysitter. Meskipun tidak murah, babysitter adalah sebuah pilihan bagi ibu pekerja yang harus meninggalkan anak sembari bekerja. Jika dipikir-pikir, sebenarnya kita bekerja keras menghasilkan uang lalu membayar babysitter untuk bersama dengan anak sepanjang hari adalah tindakan konyol. Mengapa justru kita yang merasakan bagian tidak mengenakkan? Tapi, mau bagaimana lagi. Belum lagi jika kita mendengar berbagai berita buruk mengenai kondisi anak di bawah pengasuhan babysitter. Segala hal bisa terjadi. Kita kan tidak bisa sepenuh waktu mengecek kondisi anak. Bisakah babysitter tersebut dipercaya? Jangan-jangan malah nanti si ibu tidak bisa bekerja dengan fokus karena selalu kepikiran kondisi anak di rumah.
  • Menitipkan anak di tempat penitipan. Saya pernah membaca/mendengar bahwa sang ibu yang berpikir untuk menitipkan anak di tempat penitipan adalah ibu yang "tega". Bisa-bisanya anak masih kecil begitu hanya diserahkan kepada orang lain untuk dirawat. Kan kasihan. Iya, saya tahu. Pilihan ini benar-benar membuat seorang ibu bersedih. Karena itu, perlu ada survei mendalam mengenai tempat penitipan yang dipilih.

Dari ketiga pilihan tersebut, belum ada satu pun yang benar-benar membuat saya tenang. Ada saja kekurangannya, entah karena saya yang nggak tega ataupun kualitas pilihan yang belum sepenuhnya terpercaya. Saya merenung. tugas ibu (dan bapak) untuk mendidik anak menjadi generasi penerus yang baik seharusnya adalah perhatian bersama di negara ini. Bukan berharap masa cuti diperpanjang supaya kebersamaan dengan anak bisa lebih lama, tetapi ada sistem yang lebih ramah bagi para ibu pekerja.

Pilihan lain yang mungkin bisa dijalani adalah mengalihkan pekerjaan ke rumah alias bekerja dari rumah. Kelemahannya adalah hal ini tidak bisa terjadi begitu saja, harus dibangun dan diusahakan sejak awal sehingga ketika ibu akan resign, aliran pemasukan tetap stabil. Atau, angan-angan terliar saya adalah saat perusahaan/instansi/tempat bekerja menyediakan tempat/sarana/kesempatan bagi ibu untuk bisa bersama anak entah itu memiliki daycare yang lokasinya berdekatan dengan tempat kerja ibu dan sejenisnya. Jika ada yang memberlakukan konsep seperti ini, mungkin pertanyaan mengenai nasib anak tidak akan pernah muncul dan ibu bekerja bisa tetap menjalankan fungsinya sekaligus membantu suami menopang finansial keluarga.

Bukankah jika anak-anak tumbuh dengan baik dengan sentuhan personal sang ibu yang penuh kasih sayang akan bermanfaat dalam jangka panjang kepada masyarakat secara keseluruhan? Bukankah hal seperti itu yang kita cita-citakan agar negeri ini dipenuhi oleh generasi yang berkualitas? Ah maafkan bahasa dan logika saya. Ini hanya luapan kegelisahan seorang calon ibu yang setiap hari dijejali pertanyaan-pertanyaan klasik.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun