Pada zaman sekarang, gadget bukan lagi hal yang asing dalam keseharian kita. Setiap orang--mulai dari anak-anak sampai orang dewasa--seperti sudah melekat erat dengan perangkat elektronik seperti ponsel, tab, atau laptop. Rasanya sulit buat hidup dengan optimal tanpa membawa gadget.Â
Ada yang membutuhkan barang ini untuk sekadar berkomunikasi dengan orang lain. Tapi tidak sedikit orang yang memanfaatkan gadget untuk mencari nafkah. Yap, banyak sekali kesempatan yang terbuka dengan makin lancarnya koneksi internet. Tapi, yang biasanya menjadi kontroversi, adalah ketika kita tidak tahu batas, sehingga menjadi kecanduan.
Ini bukan hanya berlaku bagi anak-anak saja, lho! Orang dewasa juga pasti pernah mengalami kondisi saat tidak dapat melepaskan diri dari cengkeraman gadget. Saat gadget tertinggal atau kehabisan baterai, rasanya jadi bingung dan tidak fokus. Bisa jadi bukan hanya karena pekerjaan, tetapi ada keterkaitan yang memenjarakan di sana.
Memahami betapa gadget begitu berpengaruh terhadap kehidupan manusia, Achmad Irfandi, seorang pemuda dari Desa Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, merasa tergerak. Ia membuat sebuah program bernama Kampung Lali Gadget (KLG) yang bertujuan untuk mengurangi dampak kecanduan gadget terhadap anak-anak.Â
Mengenal KLG
Bersama dengan Nicho Priambodo, perbincangan mengenai kondisi anak-anak usia dini yang kesulitan lepas dari gadget berubah menjadi suatu tindakan nyata. Kedua pemuda ini pun berinisiatif untuk menciptakan suatu lingkungan di mana anak-anak pada akhirnya jadi lupa dengan gadget. "Lali" dalam bahasa Jawa artinya "lupa".
Hal yang diharapkan dari keberadaan kampung ini adalah anak-anak sibuk dengan aktivitas fisik yang menyenangkan sehingga tidak lagi tertarik dengan gadget. Memang, penyebab utama anak kecanduan gadget adalah karena mereka tidak diajak untuk melakukan kegiatan lain. Padahal anak-anak bersifat mudah bosan. Untuk mengatasi kebosanan itu, akhirnya gadget dianggap sebagai solusi.
Tidak berhenti sekadar mengamati atau mengatai, Achmad Irfandi dan Nicho Priambodo mencoba mengajak sejumlah pemuda lain di desa mereka. Kegiatan mereka sebenarnya simpel yaitu mengangkat permainan tradisional sebagai alternatif aktivitas anak-anak. Permainan tradisional yang dianggap ketinggalan zaman itu dimunculkan kembali untuk menarik perhatian anak-anak. Harapannya, permainan tradisional tersebut nantinya dapat menjadi lawan yang seimbang bagi dominasi game online.Â
Para pemuda ini bertugas untuk menjadi perencana, fasilitator edukasi, dan sekaligus sebagai pendamping kegiatan. Bukan hanya dari desa, akhirnya banyak juga pemuda di sekitar wilayah Sidoarjo yang ikut terlibat aktif. Program ini juga yang membawa Achmad Irfandi berhasil meraih SATU Awards 2022 di bidang pendidikan.