Mohon tunggu...
Leni Marlins
Leni Marlins Mohon Tunggu... Freelancer - freelancer

hobi menulis tentang banyak hal untuk menyampaikan ide

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mempertaruhkan Masa Depan di Tangan yang Tepat

3 September 2017   23:52 Diperbarui: 3 September 2017   23:59 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada dua misi utama saya setelah menikah dan memiliki anak. Pertama, hidup sejahtera di usia tua. Kedua, mampu menyekolahkan anak setinggi yang ia mau. Sungguh, ini bukan misi yang mudah!

Orang pertama yang memperkenalkan saya dengan "ruh" menabung adalah suami saya. Hal ini baru saya sadari kemudian--setelah beberapa lama menjalin hubungan. Ketika itu, kami sedang membicarakan perihal biaya pernikahan. Ya, menikah juga butuh uang, bukan sekadar cinta. Karena kami berdua berasal dari keluarga biasa-biasa saja, tentu tak bijak mengandalkan orangtua untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.

Ia mengakui, tidak mudah mengumpulkan rupiah demi rupiah yang saat itu tersimpan di rekeningnya. Tiap bulan, dengan telaten, ia mengunjungi bank untuk menyetor sebagian dari penghasilannya. Sebagai konsekuensi, ia harus hidup amat sederhana tiap hari, termasuk soal makan maupun gaya hidup. "Apa nggak bosen tiap hari menjalani hidup yang gitu-gituaja?" tanya saya penasaran. Gitu-gitu aja maksud saya adalah monoton dan cenderung tak menarik.

"Supaya bisa menabung, ya memang harus begitu. Kalau nggak bisa mengendalikan diri, uang nggak bakal terkumpul. Prinsip ini juga berlaku untuk semua orang, berapa pun gajinya," jawabnya.

Jujur saja, saat itu saya sangat setuju dengan pendapatnya.

Namun, bertolak belakang dengan kebiasaan positifnya, saya justru tidak pernah bisa menabung--sejak dahulu. Padahal, saya juga mendapatkan penghasilan tiap bulan. Kalaupun ditabung, beberapa minggu kemudian ludes karena dibobol untuk memenuhi sebuah keinginan. Jadi, tak mengherankan jika akhir bulan adalah waktu-waktu yang sangat krusial karena uang di dompet semakin menipis.

Nah, kisah dari suami tersebut benar-benar menginspirasi saya. Apalagi karena tabungan yang diperjuangkannya bertahun-tahun kemudian sebagian besar bisa membiayai pernikahan kami. Saya pun bertekad, setelah menikah, saya akan mulai rajin menabung. Telat? Ah, nggak apa-apa. Lebih baik telat daripada tidak sama sekali, bukan?

www.pexels.com
www.pexels.com
Berkenalan dengan Deposito

Saya termasuk awam kalau bicara soal finansial atau dunia perbankan. Bahkan, awalnya saya tidak tahu apa itu investasi, deposito, saham, dan sebagainya. Namun, karena tekad baru ini, saya perlahan-lahan mulai belajar cara mendapatkan hasil yang optimal dengan memanfaatkan fasilitas perbankan. Salah satu di antaranya adalah deposito. Berdasarkan hasil ubek-ubek internet, saya menjadi tahu bahwa deposito adalah sebentuk investasi sederhana yang paling minim risiko.

Kebetulan, setelah menikah, kami masih memiliki sedikit dana tersisa. Uang itulah yang kami pergunakan untuk membuka deposito. Waktu itu, kami memilih BRI karena 2 alasan mendasar, yaitu:

Pertama, asas kepercayaan. Suami saya telah menabung di BRI selama lebih dari 10 tahun. Selama itu, tidak ada halangan berarti setiap kali melakukan transaksi. Pengalaman positif ini menjadi bukti bahwa pada masa lalu bank ini tidak bermasalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun