CINTA, SAMSARA DAN KARMA
Matahari berkata “dari tempatku bertahta, aku bisa melihat Jiwa dunia berkomunikasi dengan Jiwaku. Bersama-sama kami menumbuhkan tanaman-tanaman dan membuat domba-domba berlindung di keteduhan. Dari tempatku bertahta jauh diatas Bumi aku belajar mencintai, aku tahu kalau aku terlalu dekat sedikit saja kepada Bumi semua yang ada disana mati dan Jiwa Dunia takkan ada lagi. Maka kami saling memandang, kami saling mendambakan. Aku memberi kehidupan dan kehangatan kepada Bumi dan Bumi memberiku alasan untuk hidup. (kutipan sebuah buku)
Begitu indahnya kekuatan“cinta.” Adakah rasa melebihi rasa itu? “memberi alas an untuk tetap hidup, saling menahan diri demi menjaga kehidupan, seperti “cinta” dada pada punggung, saling membelakangi seakan begitu angkuh untuk mengakui ayat cinta yang menyatukan mereka akan tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah menopang demi menjaga “hidup” dan seandai nya mereka bersatu maka mereka adalah belulang tanpa jiwa yang bersemayam disebuah lubang dalam bungkusan kafan dan “hidup takkan ada lagi.
Karena “Cinta,” kita “ada” dan tugas kita itu menjadi “ada” kenapa harus mencabik diri sendiri dengan keluhan hidup yang tidak sesuai dengan yang kita mau? Sebenarnya akupun tak lepas dari keluhan-keluhan itu dengan pertanyaan “kenapa harus aku? “salah apa aku? “ merunduk memilukan rasa yang membiarkan dalam sayatan sembilu.
Aku menulis sebenarnya untuk diriku sendiri, mengingatkan ada hal indah dalam hidup yaitu “CINTA” dan cinta tidak harus selalu bersanding, jangan mengutuk “kerinduan” karena rindu bukan hanya tentang “terpisah” menyiksa diri dengan rasa takut tak dicintai, kegamangan hati karena takut terkhianati, walaupun sebenarnya cemburu, kemarahan, kesedihan adalah bentuk lain dari “cinta” yang tergelisahkan oleh pikiran-pikiran yang diadakan untuk direkayasa sendiri, nikmati kerinduan tanpa menggerutu, jalani skenarioNYA tanpa meminta revisi, karena semua memang harus “ada”.
Semesta begitu rela menahan diri dan hanya bisa saling mendamba satu sama lain karena untuk membiarkan kita dalam koridor tetap “ada” , begitu patuhnya semesta menjalani skenario Tuhan tanpa meminta revisi dan tanpa menggerutu. Sementara kita setiap saat mengeluh hanya karena tentang tidak menyatu, kerinduan yang menyeruak disela-sela jarak dan waktu. Mampukah kita menahan diri seperti itu? Sang Raja Matahari yang menatap dari tahtanya, menyinari dan menghangatkan, menumbuhkan anak-anak alam untuk meneduhkan domba-domba dan penggembala nya, mampu tersenyum melihat kebahagiaan insan yang kian kemari, dan kembali kepada singgasananya di senja hari untuk bersinar keesokan harinya. Mendamba sepanjang masa tanpa mengurangi kegiatan menghangati Bumi, dan Bumi begitu setia menumbuhkan dari sinarnya. Tidakkah insan dapat belajar mencintai seperti “Cinta Matahari kepada Bumi”
Matahari, Bumi, tumbuhan dan hewan diatasnya berjalan sesuai skenarioNya melayani insan yang memang harus “ada.” Sedangkan aku, kau dan dia tak pernah lepas dari keluhan yang nyata atau tersamar. Kita yang selalu meributkan “materi” sementara materi tak pernah sibuk memikirkan mu, bahkan atas nama “benar” kau sibuk bergunjing, nyinyir bahkan sampai berperang. Akankah semua diakhiri ketika menyadari ketiadaan menjadi ada? Atau saat ada menjadi tiada?
Apakah kita tak merasa malu ketika mengatakan “cinta” tapi sebenarnya yang kau lakukan adalah merusaknya?
Seperti cinta Shu pada Ren….Cintanya abadi tapi hanya bisa saling berpunggungan, namun saling membutuhkan tanpa bisa memeluknya, Cinta yang harus tetap terjaga keSucian nya, karena bila terlanggar maka ia telah menyerahkan diri pada kematian.
Mata diciptakan mengarah keluar untuk melihat semua itu, apakah kita mau belajar melihat kedalam, apakah kita mau belajar melihat dari segala sisinya???... Mari kita merenung sejenak, pejamkan mata dan tanyalah kepada diri, betulkah Cinta itu adalah keindahan jiwa? Atau Cinta itu sebuah Kesengsaraan???...
Cinta membuat detak jantuk berdetak dua kali lipat, bayangkan ketika bertemu sang pujaan …berdetak lebih cepat.