Mohon tunggu...
leni fei
leni fei Mohon Tunggu... -

menulis, melukis, membaca dan mengajar adalah aktivitas sehari-hari yang banyak memberikan pengalaman dan pencerahan bagi kekayaan batin. terimakasih kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan untuk berada dalam alam raya ini.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kado Miris Untuk Rumah Gadai (Rumah Tak Ber”hati”)

21 Oktober 2011   04:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:41 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com



by Leni Fei

Pagi  tadi,

Seorang ibu, lebih muda sedikit dariku,  datang ke rumah gadai, kawasan kosambi,

Kukatakan ia seorang  ibu, sebab dia datang bersama anak kecil berbaju batik, seragam hari jumat anak sekolah dasar.

Para pegawai berdandan cantik, berkebaya kuning tua, ber jastong, kabarnya rumah gadai ini tengah berulang tahun hari ini.

Di meja kecil tersaji makanan dan minuman, yang mungkin cuma hiasan sebab tak satupun tamu dipersilahkan mencicipinya,

Aku duduk tepat  di depan meja penaksir, menunggu giliran nomorku dipanggil,

Kuikuti percakapan mereka,

Ibu itu menyodorkan laptop-nya, menyentuh tombol power,

Namun belum lagi menyala, seorang pegawai langsung berujar:

“Oh,TIDAK BISA!” tanpa menoleh.

“merk ini gak bisa di terima, harus cor tu duo, harus blablabla…”, pegawai lainnya menambahkan.

Seorang pegawai lain bicara: “bu, teu ditampi laptopna, ku abdi weh dipeser, sajuta”,

Ibu tersebut memasukkan laptopnya,  diikuti anak sebaya anakku itu, bergegas keluar,

Aku mengikuti, dia terduduk di kursi besi  di luar kantor rumah gadai itu.

Wajahnya cemas,  tapi berusaha tersenyum ke arahku.

“Kanggo naon, bu?”

“,…hapunten, abdi tipayun,” katanya pamitan…

“bu,… “ aku memanggilnya,

Entah kenapa, ada sedikit rasa ingin tahu yang tak bisa kubendung.

Dia bukan ibu rumah tangga biasa, penampilannya casual, matanya cerdas, smart!

“ya?,”

“bisa ngobrol sebentar?”

Dia mengurungkan bangkitnya, terduduk lunglai,.. kami berbincang sejenak,

ternyata dia seorang penulis! Dan satu-satunya harta yang paling berharga adalah laptop-nya itu.

Aku terhenyak, jika seseorang telah berani menggadaikan alat untuk mencari nafkah satu-satunya itu dengan berani, tentunya ada hal yang sangat penting yang harus dia atasi.

Samar kudengar nomor antrianku dipanggil, kubatalkan niatku untuk menebus barangku yang kugadai disana, dan memberikan uang itu kepadanya.

Dia letakkan laptopnya di hadapanku,

“Ini jaminannya, teteh..!”

Laptop itu kuambil, kusimpan dipangkuannya,

Bawa pulanglah, teruslah menulis, produktif, supaya kebutuhanmu tercukupi…

Dia menatapku,

Mata yang menunjukan rasa terimakasih yang tak terhingga,

Aku percaya mata seperti itu,

Jujur, tulus.

Aku menyimpan nomornya, alamat rumahnya,

Wajahnya sedikit tenang,

“lain kali, belilah kain batik yang banyak, sebab disini cuma terima barang seperti itu,”.. aku menggodanya, sekedar menghibur…

Ada sedikit senyuman disana, dia merangkulku, berucap terimakasih, memberikan ciuman ringan di pipiku,.. lalu melangkah pergi.

“good luck,.. de, Tuhan bersamamu, kamu pejuang kehidupan….” bisikku dalam hati

Aku istirahat sejenak di bangku itu, spanduk dengan slogan yang “meneduhkan” melambai-lambai di tiup angin pagi hari…

Ternyata rumah  gadai ini tak bisa menyelesaikan masalah sekecil itu , aku tersenyum miris…

Melangkah ke parkiran, nomor antrian kusobek, semoga dua minggu mendatang, saat barang itu  akan dilelang, aku masih bisa menebusnya  dari rejeki yang lain.

Aku bersumpah dalam hati, ini yang terakhir, aku berkunjung kesini.

Semoga keturunanku tak ada yang berurusan dengan rumah gadai ini, seberapapun sulitnya, jangan sampai meminta bantuan dan pertolongan kepada rumah tak ber”hati” ini, dan semoga Allah melapangkan rejeki bagi orang-orang yang memang tengah disempitkan.

Jumat yang mulia, memberiku pelajaran sederhana yang memperkaya batin..
Alhamdulillaahhh….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun