by Leni Fei
Pagi tadi,
Seorang ibu, lebih muda sedikit dariku, datang ke rumah gadai, kawasan kosambi,
Kukatakan ia seorang ibu, sebab dia datang bersama anak kecil berbaju batik, seragam hari jumat anak sekolah dasar.
Para pegawai berdandan cantik, berkebaya kuning tua, ber jastong, kabarnya rumah gadai ini tengah berulang tahun hari ini.
Di meja kecil tersaji makanan dan minuman, yang mungkin cuma hiasan sebab tak satupun tamu dipersilahkan mencicipinya,
Aku duduk tepat di depan meja penaksir, menunggu giliran nomorku dipanggil,
Kuikuti percakapan mereka,
Ibu itu menyodorkan laptop-nya, menyentuh tombol power,
Namun belum lagi menyala, seorang pegawai langsung berujar:
“Oh,TIDAK BISA!” tanpa menoleh.
“merk ini gak bisa di terima, harus cor tu duo, harus blablabla…”, pegawai lainnya menambahkan.
Seorang pegawai lain bicara: “bu, teu ditampi laptopna, ku abdi weh dipeser, sajuta”,
Ibu tersebut memasukkan laptopnya, diikuti anak sebaya anakku itu, bergegas keluar,
Aku mengikuti, dia terduduk di kursi besi di luar kantor rumah gadai itu.
Wajahnya cemas, tapi berusaha tersenyum ke arahku.
“Kanggo naon, bu?”
“,…hapunten, abdi tipayun,” katanya pamitan…
“bu,… “ aku memanggilnya,
Entah kenapa, ada sedikit rasa ingin tahu yang tak bisa kubendung.
Dia bukan ibu rumah tangga biasa, penampilannya casual, matanya cerdas, smart!
“ya?,”
“bisa ngobrol sebentar?”
Dia mengurungkan bangkitnya, terduduk lunglai,.. kami berbincang sejenak,
ternyata dia seorang penulis! Dan satu-satunya harta yang paling berharga adalah laptop-nya itu.
Aku terhenyak, jika seseorang telah berani menggadaikan alat untuk mencari nafkah satu-satunya itu dengan berani, tentunya ada hal yang sangat penting yang harus dia atasi.
Samar kudengar nomor antrianku dipanggil, kubatalkan niatku untuk menebus barangku yang kugadai disana, dan memberikan uang itu kepadanya.
Dia letakkan laptopnya di hadapanku,
“Ini jaminannya, teteh..!”
Laptop itu kuambil, kusimpan dipangkuannya,
Bawa pulanglah, teruslah menulis, produktif, supaya kebutuhanmu tercukupi…
Dia menatapku,
Mata yang menunjukan rasa terimakasih yang tak terhingga,
Aku percaya mata seperti itu,
Jujur, tulus.
Aku menyimpan nomornya, alamat rumahnya,
Wajahnya sedikit tenang,
“lain kali, belilah kain batik yang banyak, sebab disini cuma terima barang seperti itu,”.. aku menggodanya, sekedar menghibur…
Ada sedikit senyuman disana, dia merangkulku, berucap terimakasih, memberikan ciuman ringan di pipiku,.. lalu melangkah pergi.
“good luck,.. de, Tuhan bersamamu, kamu pejuang kehidupan….” bisikku dalam hati
Aku istirahat sejenak di bangku itu, spanduk dengan slogan yang “meneduhkan” melambai-lambai di tiup angin pagi hari…
Ternyata rumah gadai ini tak bisa menyelesaikan masalah sekecil itu , aku tersenyum miris…
Melangkah ke parkiran, nomor antrian kusobek, semoga dua minggu mendatang, saat barang itu akan dilelang, aku masih bisa menebusnya dari rejeki yang lain.
Aku bersumpah dalam hati, ini yang terakhir, aku berkunjung kesini.
Semoga keturunanku tak ada yang berurusan dengan rumah gadai ini, seberapapun sulitnya, jangan sampai meminta bantuan dan pertolongan kepada rumah tak ber”hati” ini, dan semoga Allah melapangkan rejeki bagi orang-orang yang memang tengah disempitkan.
Jumat yang mulia, memberiku pelajaran sederhana yang memperkaya batin..
Alhamdulillaahhh….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H