Bicara tentang sungai mengingatkan saya akan masa kecil yang indah. Sekitar tiga atau empat puluh tahun yang lalu, sungai melambangkan dimulainya kehidupan. Sebelum subuh, sungai sudah diramaikan oleh orang-orang yang ingin menunaikan hajatnya.
Saat itu, sangat sedikit warga yang memiliki sumur atau jamban di rumah. Seluruh aktifitas cuci dan mandi dilakukan di sungai. Sungai juga dijadikan area untuk bertukar informasi. Kabar, berita, atau gossip dengan cepat menyebar di sini.
Terinspirasi oleh Pak Arif dalam  Mengenang Ular Berjanggut Putih, saya akan berbagi pengalaman masa kecil menjelajahi sungai di kampung saya.
Saat berusia sembilan atau sepuluh tahun, sungai menjadi tempat yang paling menyenangkan. Bersama teman-teman perempuan seusia, siang hari sepulang sekolah kami bermain di sungai. Berbekal kain sarung milik ibu yang kami ambil diam-diam, kami pun 'beranyut'.
Kami mengenakan kain seperti perempuan jawa mengenakan kemben. Disimpul di dada, sebelah kiri atau kanan dengan cara menyelipkan ujungnya ke dalam. Setelah dirasa cukup kuat dan tidak akan terlepas, kami kemudian menggelembungkan kain tersebut. Agak susah untuk menjelaskan caranya, tetapi prakteknya gampang kok.
Setelah menggelembung, kami menjadikannya sebagai pelampung untuk menghanyutkan diri mengikuti arus sungai. Teringat  kejadian ini, saya jadi malu sendiri. Bukan apa-apa, kain yang tadinya berfungsi menutup aurat dari dada hingga lutut, setelah berubah jadi pelampung kehilangan fungsi utamanya.
Aurat kami jadi terbuka. Bokong kami akan terlihat jelas ketika 'beranyut' dengan posisi tengkurap. Kalau posisi telentang? Ya, gitu deh. Namun kami jarang melakukannya.
Dari tepian perempuan, kami akan melewati tepian lelaki. Selanjutnya kami akan melewati satu  tepian perempuan lagi,  di bagian hilir. Oh ya, tepian dalam bahasa kampung saya artinya tempat mandi. Jadi, jangan heran kadang sumur yang dijadikan tempat mandi pun disebut tepian.
Puas menghanyutkan diri, kami kemudian berjemur di pinggir sungai. Istirahat sejenak, untuk aktivitas berikutnya. Melompat! Ya, melompat dari ketinggian sekitar dua meter, dari atas tebing sungai.
Saat itu masih banyak batu-batu besar tersebar dalam sungai. Sebagian ada yang terlihat, sebagian lagi bersembunyi di kedalaman air.
Adakalanya kami bernasib sial, tubuh kami jatuh mendarat pada batu. Rasanya lumayan sakit. Namun, dasar anak-anak kami tak mengacuhkannya. Kecuali jika memang sampai membuat kaki keseleo dan patah. Jera? Tentu saja tidak.