Mohon tunggu...
Leni Wulansari
Leni Wulansari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

kaki boleh pecah2 tapi sudah ada surganya (katanya)... amiinnn :)\r\n\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Rujak Tapi Minuman? Yang Khas dari Desa Adat Panglipuran, Bali

2 Juni 2014   22:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:47 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1401697882345960553

"Jadi kita mau wisata ke perumahan?" komen suami waktu saya ceritakan destinasi pagi hari itu. Setelah saya jelaskan lebih lanjut, dia malah komen lagi, "Ooo, jadi kita mau wisata ke lokalisasi nih? Lokalisasi rumah adat Bali maksudnyaa..." Saya tersenyum, kalimat terakhirnya terdengar menetralkan konotasi kalimat sebelumnya.

Baru kali itu saya mengunjungi Desa Adat di Bali. Setiap ke Ubud, pasti berkunjungnya hanya ke tempat kerajinan. Sementara di pedesaanya cuma selewat. Itu juga pernah liat-liat cuma dari motor sambil sibuk buka peta takut nyasar mau ke kintamani, ro-romantis-an bareng suami.

Desa Adat Panglipuran ada di Kabupaten Bangli, satu kabupaten dengan Danau Kintamani. Lokasinya yang 600 meteran diatas permukaan air laut membuat udaranya lebih sejuk daripada Bali selatan.

Desa yang terletak di Kabupaten Bangli, atau sekitar 1.5 jam ke arah utaranya Denpasar ini memiliki potensi budaya adat Bali yang dilestarikan, dan yang paling kasat mata adalah rumah adatnya. Desa ini memang lebih seperti daerah lokalisasi rumah adat Bali. Rumah-rumahnya seragam, berjejer rapi dan saling berhadapan. Gang selebar 3 meter menjadi pemisahnya. Struktur rumah satu sama lain sangat mirip, apalagi dengan gapura khas Bali di setiap depan rumahnya. Pokoknya buat yang suka dengan budaya dan ornamen yang Bali banget, desa adat inilah jawabannya.

Masuk ke area wisata Desa Adat ini juga biayanya sangat terjangkau, hanya Rp 7500/ orang. Sudah murah begitu, saya masih dapet diskon. Katanya kertas tiket sedang habis, jadi saya hanya diminta uang restribusi sebesar Rp 5000/orang, tanpa bukti tiket. Buat saya nggak masalah, selama pas menikmati wisata nggak akan tiba-tiba diusir. Hehe..

Cuma sayangnya, nggak banyak referensi yang menjelaskan asal usul desa adat ini. Nggak ada juga kuncen yang bisa diwawancarai. Wisatawan asing sih menggondol guide berbayar yang menjelaskan cas cis cus soal desa ini. Sementara saya sekeluarga hanya mengandalkan celotehannya salah satu teman yang asli Bali. Memang lumayan sih ada cerita-cerita, cuma yang bikin kita nepok jidat, akhirannya dia pasti bilang ; "Kalau nggak salah itu juga.. kalau gak ada kalian, gak ada saya kesini sekarang"

Walaupun waktu SD katanya sering kesana, pas kemarin dia kesana lagi tetep aja dia lupa yang mana rumah kerabat orangtuanya. Saking rumahnya mirip-mirip. Setelah tanya-tanya, ketemulah rumah no 28. Kita masuk kesana. Sekalian menghilangkan haus, kita bersantai. Disana saya ditawari kulineran khas Bangli. Namanya Rujak Cem Cem. Saya pikir rujak kayak di Jakarta sini yang ada sambelnya. Ternyata bukan, rujak disana adalah minuman dari daun cem cem yang diulek lalu diberi air dan disaring, baru dicampur serutan kelapa muda. Lagi kepanasan begitu, saya tergiur mendengar ada kelapa mudanya. Saya pun pesan. Datanglah minuman berwarna hijau pekat dalam botol 600 ml mirip botol air mineral. Diluar bayangan saya.

Saya coba, rasanya memang ada pedes dan keset dari si daun, tapi ada segarnya dari kelapa. Nggak tau karena haus atau doyan, saya glek glek aja terus. Hampir habis sebotol. Suami saya sampai menyiapkan botol kedua. Tapi saya angkat tangan menyerah, perut udah berasa penuh. Saudara saya yang nggak suka sama sekali, cuma geleng-geleng bergidik, kayak baru liat pertunjukan drakula minum darah orang.

Setelah itu, kami pun lanjut jalan. Baru setengah jam perjalanan, perut saya melilit. Tadinya saya pikir masuk angin, saya minta suami olesin minyak aromatherapy ke punggung, tapi belum juga selesai dia udah sibuk nengok upacara ngarak Barong suci di sebuah desa. Saya ikut-ikutan terhibur demi nggak merusak suasana perjalanan yang lagi Bali banget. Lewat desa itu, perut kembali terasa bergemuruh.

Saya sempat tanya, apa khasiat minuman rujak cem cem ini. Biasanya kan namanya minuman herbal suka ada khasiatnya. Teman saya malah bingung. 'Untuk kesegaran aja' katanya ringkas.

'Beneran bukan pelangsing nih?' tanya saya maksa. Dia malah jawab, 'Wah kalau pelangsing saya mau minum setiap hari, biar kurus saya' katanya dengan logat Bali khas.

Lagi bingung cari alasan kenapa perut mules-mules nggak jelas, saya malah ditawari liat desa Tegal Alang Ubud, tempat terasering sawah. Turis asing memang tampak exciting foto-foto di sawah itu. Suami yang udah kenyang liat sawah, cuma meledek 'Kalau nggak mau foto yaudah buang mules disana aja tuh. Biar berkesan..'

Memang berkesan kok, dari yang perginya semangat liat Desa Adat, pulangnya bisa langsung buyar karena nahan mules sepanjang perjalanan. Perjalanannya lewat jalur desa-desa yang jauh dari pom bensin pula. Begitu liat restoran, langsung saya minta stop. Baru parkir, langsung saya ngibrit ke toilet. Setelah lega, saya gabung ke gazebo tempat makannya. Suami, saudara dan teman saya masih sibuk ngebolak-balik buku menu. Ternyata harganya mahal banget. Tengok kiri kanan, bule semua tamunya. Hahaha..kami ngakak. Mereka menyalahkan saya yang emosi buru-buru berhenti. Saya meringis, 'Udaaah, anggap aja ini biaya ngelahirin barusan mules. Disesar nih perut..'

Itu mungkin cuma salah satu cerita akibat minum rujak cem cem terlalu banyak dalam sekali waktu minum. Selidik punya selidik, minuman ini ternyata khasiatnya adalah untuk mengobati panas dalam. Hmm pantes, selesai dari toilet perut saya memang adem banget. Legaa. Selega dompet saya setelah bayar di restoran itu. Wkwk..

Jadi kalau sempat kesana, jangan ragu untuk tetap mencoba rujak eh minuman khas Desa ini ya. Tipsnya, bayar dulu, baru coba seteguk dua teguk.. Kalau nggak ada reaksi selama setengah jam, baru gaspol habisin sebotol. Itu juga kalau setengah jam kemudiannya masih minat. Hehe...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun