Tadinya nggak akan ikutan menulis tentang Bu Susi yang lagi jadi seleb ini. Tapi agak terusik waktu baca status seorang ustad yang intinya bilang; Masyarakat sudah rusak, sulit diluruskan dan tak akan dekat ke ketaatan jika berfikir; 'mending mana, buka aurat tapi baik daripada kerudungan tapi judes'
Atau; 'nggak apa2 tatoan, ngerokok, yang penting bisa kerja, daripada muslim patuh tapi korupsi'
Ketika harus memilih yang terbaik diantara yang buruk, maka kita akan kehilangan idealisme dan mulai menoleransi keburukan, begitu kata Pak Ustad.
Yup betul pak, pilihan yang nggak mudah memang, tapi ketika saat itu ada, bukankah kita harus melihat konteks pemilihannya.
Semisal waktu saya mencari Mbak pengasuh anak yang ditinggal kerja, saya memilih yang nggak kerudungan tapi baik daripada yang pake kerudung tapi judes. Soal kerudung, orang bisa berubah pilihan, alias dapat hidayah di kemudian hari. Tapi soal kebaikan hati, itu karakter. Penting untuk spec mendasar jaga anak. Toh, sekarang mbak pengasuh sudah berkerudung. Walaupun itu menjadi urusan pribadinya, selama ini saya nggak pernah meminta atau berusaha menginspirasi sama sekali.
Lalu saat memilih pejabat negara yang mengurusi kepentingan rakyat banyak, Pak Presiden yang punya hak PREROGATIF (inget loh; hak prerogatif alias hak mutlak alias seseleranya dia) maka dipilihlah orang yang kerjanya terbukti nyata, dengan rekam jejak prestasi yang gemilang, walaupun ternyata (saya yakin Pak Presiden pun belum tentu tau detail) bahwa Bu Susi ini bertato, merokok, janda setelah 2x nikah, dll dll.
Bukan hendak menolerir keburukan dan mengikis idealisme, namun perlu diperhatikan bahwa keburukan merokok tidak bisa dibandingkan dengan keburukan korupsi. Saya juga nggak respect dengan perempuan perokok, apalagi pejabat publik, tapi saya yakin ada hal yang lebih BESAR lainnya yang menutupi kekurangan itu. Dan hal besar itulah yang diperlukan dari seorang Bu Susi saat ini.
Setelah lega karena batin ini menemukan jawaban atas unek-unek terhadap pernyataan ustad diatas, eh saya malah nemu foto beginian;
Intinya penulis yang memuat gambar itu menjuluki SEKULER INLANDER bagi siapa saja yang mentolelir dan selalu membela keunikan Bu Susi yang memang; Tak lulus SMA, bertato, merokok, nikah 2x- tapi jadi Menteri-.. sementara di sisi lain selalu menyudutkan Ratu Atut yang walaupun koruptur, tapi ditulis; berpendidikan, santri, tak kawin cerai, tak bertato dan yang jelas berkerudung.
Waduh, dunia terlalu mumet kalau perbandingan hanya semodel begitu. Kenapa nggak buat foto Bu Susi versus Bu Khofifah... dengan menghighlight Bu Khofifah; berpendidikan, santri, tak kawin cerai, tak bertato, kerudungan -tapi masih bisa jadi menteri-. Nggak lupa kan ada menteri perempuan berkerudung juga? Kalau niat positif...
Hanya orang yang pengen ribet, yang suka membandingkan hal yang tak sebanding. Kayak dulu saya waktu SD suka banget bikin permainan pilihan aneh, maksa nyuruh temen milih; Mau punya rumah tingkat di hutan belantara atau gubuk tapi di Amerika? Kan dulu Amerika udah paling top, sampai gemetar nyebut punya gubuk disana juga..
Atau saya suka liat ekspresi mikirnya temen saya waktu ditanya; Mending dikasih coklat toblerone sepotek atau dikasih coklat ayam jago sekardus? Pilihan mumet untuk anak yang tau makanan enak tapi maruk...bari abis itu dia nggak saya kasih apa-apa, wkwk...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI