Mohon tunggu...
Leni Wulansari
Leni Wulansari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

kaki boleh pecah2 tapi sudah ada surganya (katanya)... amiinnn :)\r\n\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kartini Saya

22 April 2014   18:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:20 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan karena kemarin hari Kartini maka saya ingin menuliskan tentangnya. Bukan juga karena weekend kemarin saya baru saja bercengkerama dengannya, memandikannya, dan menemukan tubuhnya me-ngurus dratis lalu saya menjadi lebih ingat kepadanya. Tapi karena dalam hati ini selalu mengiang suaranya, apalagi sejak dia bilang; 'Apa mamah udah mau deket ke habis umur ya neng...?' Tentu saja pertanyaan itu bukan wewenang saya untuk menjawab. Tapi mungkin dia pun bukan ingin dijawab tidak, apalagi iya. Dia cuma ingin saya lebih perhatian kepadanya.

Tinggal di kota yang berbeda, memang membuat saya tidak bisa memperhatikannya secara fisik setiap waktu. Saya pun kehilangan ladang amal mengurus ibu saya secara langsung. Tidak seperti adik-adik saya yang bisa memandikannya setiap hari, dibangunkan tengah malam untuk memijat, mengantar terapi seminggu sekali, atau cuma diminta beli sop buntut yang harus dari rumah makan A.

Saya jadi ingat, dulu cuma si sakit gigi dan si masuk angin yang kadang mengganggu aktivitas ibu saya. Itu pun hanya dijawab sederhana oleh ibu saya. Cukup kumur air garam atau air sirih untuk si sakit gigi, dan minum air jahe untuk si masuk angin. Memang ibu sering keluar masuk Rumah Sakit, tapi itu karena setia mengurus Bapak yang beberapa kali operasi. Dia sendiri dirawat di RS hanya untuk melahirkan, itu pun karena usianya diatas 40 waktu melahirkan si bungsu.

Sampai di suatu siang, saat dia tertidur masih dengan seragam kerjanya, HPnya berdering. Bermaksud bangun untuk mengangkat telepon, ibu saya tak kuasa. Kakinya kaku tak bergerak. Tangannya pun lemas. Deringan HP meraung menyaksikan ibu saya merintih di kasurnya. Dan beberapa jam kemudian pun, dia terbaring di kasur yang berbeda, di Rumah Sakit. Kata dokter, dia kena Stroke. Badannya sebelah kanan sudah tidak aktif karena ada penyumbatan otak kiri.

Sumbatan yang keliatannya hanya setitik di otak kiri itu langsung merenggut aktivitas ibu saya. Ibu saya langsung non aktif dari SD yang dikepalainya. Untung negara memberi keleluasaan pada pengabdinya, walaupun memang pada akhirnya ibu saya harus pensiun dini.

Kerjaan rumah tangga yang biasanya selalu dilakukannya sendiri, saat itu terpaksa diwariskan kepada adik-adik saya. Padahal mereka yang saat itu masih kuliah, seperti juga saya, biasanya paling banter hanya membantu pegang sapu atau mencuci piring. Sangat ringan. Tidak terfikir sama sekali harus bisa menyiapkan makan tiga kali sehari, menyulap baju kotor jadi terjejer rapi di lemari, apalagi mengurus orangtua sakit.

Pengobatan medis dan tradisional pernah dicoba disana-sini. Hasilnya lumayan, ibu saya bisa jalan tertatih. Tapi setelah itu, grafiknya lurus. Tidak banyak perubahan selama 4 tahun terakhir ini. Hingga akhirnya pengobatan hanya sebagai usaha agar kondisinya tidak menurun.

Ia nampak telah lelah menunggu kesembuhan, terutama karena perasaan tidak nyaman bergantung pada orang lain. Ia ingin segera dapat melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapapun, bahkan anak-anaknya. Tapi kami yakin usaha dan doa bisa terjawab dalam beragam wujud, yang disadari atau tidak, tampak atau tidak.

Dalam waktu sakitnya, ibu saya tetap bisa menikahkan 3 anaknya. Bukan hanya didandani dan setia menemani pengantin di pelaminan layaknya seorang ibu yang sehat, tapi ibu saya juga yang membiayai pernikahan kami. Dalam kesakitannya juga, ibu saya tetap menjadi sumber penolong saat beberapa saudara kami kesulitan. Tidak ada yang sadar bagaimana dia dulu mengencangkan ikat pinggang dan menahan segala keinginannya hanya demi menabung dan berinvestasi untuk menyiapkan masa depan anak-anaknya.

Itulah Kartini saya. Yang dalam sehatnya, telah menorehkan banyak perjuangan untuk membesarkan anak-anaknya, bukan dengan kelembutan kata memang, tapi dengan contoh ketegaran yang ternyata sekarang sangat berguna. Bukan dengan membelikan baju mahal untuk anaknya pergi ke pesta ulangtahun, tapi dengan tidur larut menjahitkan baju sederhana tapi berkesan. Dia yang  memberi inspirasi untuk hidup mandiri, kerja keras, tidak hidup berlebihan, dan selalu murah hati.. hingga pada saat tangan kanannya lemah tak dapat melakukan apa-apapun, dia tetap dapat memberi dengan tangan kirinya.

Maka catatan sederhana ini pun bukan untuk siapa-siapa, hanya untuk ibu saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun