Mohon tunggu...
Leni Wulansari
Leni Wulansari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

kaki boleh pecah2 tapi sudah ada surganya (katanya)... amiinnn :)\r\n\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Boobs, Boobs, Jilboobs

12 Agustus 2014   22:27 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:43 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan latah pengen ikutan nulis suatu tema yang sedang tren dibicarakan saat ini, yaitu jilboobs. Sebetulnya saya malah nggak pengen ikut arus keramaian ngomongin ini, karena ilmu masih dibawah pas2an, mau ngebahas jadi takut salah. Cuman kepikiran aja, sejak baca status seseorang yang nanya ; 'Are you Jilbabers or Jilboobs close enough?'

Emang, perempuan berkerudung hanya dikategorikan dua itu ya? Jilbaber dan Jilboob. Sayangnya saya nggak lebih lanjut nanya balik ke temen saya itu, mungkin dia punya penjelasan lebih lanjut yang lebih ilmiah.

Cuma kalau dari pengkotakan itu, saya menebak, menurut dia, hanya ada Jilbaber (yang menurut sepengetahuan saya) adl perempuan yang kerudungnya lebar, menutup dada, bahkan perut, dan biasanya selalu bergamis dan berkaos kaki (anti bercelana karena menyerupai laki-laki) sedangkan satunya adalah Jilboobs (yang menurut kamus internet) adl perempuan yang memakai kerudung tapi berbaju ketat dan memperlihatkan dadanya (foto-foto mereka -yang mukanya selalu diburemin itu- punya magnet di bagian dada yang dibusungkan, kok dadanya ala Jupe semua ya, jangan2 foto Jupe dikasih kudung ituh).

Terus kalau saya dibilang apa dong. Pake kerudung sih pake, kadang yang segi empat old fashion, pashmina di-uwel-uwel, langsungan kayak emak-emak, anduk juga bisa kalo pas mepet ada tukang air nganter galon nyelonong masuk ke rumah. Saya jarang bergamis, gamisan cuma kalau lebaran ama kalau pengajian aja, itupun masih pake yang itu-itu aja karena punyanya bisa dihitung jari.Saya masih nyaman pakai celana, kerja pakai celana, di rumah pakai celana, kecuali suami minta lepas celana, eh maaf jadi kesana. Habis dari dulu terbiasa pakai celana, untung aja sekolah bukan diluar negeri, masih harus ikutan pakai rok merah, biru dan abu-abu. Pas kuliah mah, jebreeet celana tiap hari. Bisa lari-lari bebas kalau ngejar angkot pergi kuliah kesiangan, bisa duduk sila di bawah pohon nungguin dosen sambil makan cilok.

Pernah mau nyoba kompakan ama temen cewek yang jumlahnya sedikit di jurusan saya, pake rok di hari Kartini. Buat lucu-lucuan dan membuktikan kalau cewek Teknik Mesin masih beneran cewek. Eh bukannya menuai mata kagum dan godaan positif dari para teman lelaki, malah dapat huruf H dan U bertubi-tubi. Dasar anak Mesin, temennya sendiri nggak pernah dianggap cewek. Lebih nerima kalau kami pakai baju werpak waktu praktek di bengkel, huaaa....

Jadi semenjak itu tobatlah pakai rok. Baru ketemu rok lagi pas wisuda. Untungnya nggak lama-lama karena paha beradu asa nggak enak. Maklum masih endut, cepet gerah. Selanjutnya pas mau nikah, setelah nikah, apalagi pas hamil, rok udah mulai meramaikan lemari saya.

Nah, saat pertama kali berkerudung, saya belum berniat untuk menjadi jilbaber, bukan apa-apa modalnya harus banyak itu mah beli gamis gak cukup satu. Waktu itu cuma beli kerudugn secukupnya tabungan, beli baju tangan panjang, manset, tak lupa peniti dan beberap bros. Beres. Untungnya waktu itu saya juga nggak kepikiran untuk jadi jilboobs biar kelihatan tetap modis (selain waktu itu belum ada istilah ini, kayaknya saya mah nggak pantes pake kaos ketat, bisa lemak yang nonjol2 minta diiris pisau), yang penting menurut saya hanya menutup aurat, nggak ketat, nggak menerawang. Udah bisa nahan nggak pakai celana pendek pas ke pantai aja saya udah bangga sama diri sendiri waktu pertama berjilbab mah.

Sekarang memang, dengan seiring waktu, saya makin mengerti arti ber-jilbab itu sendiri. Melihat fenomena banyak perempuan berjilbab, bahkan sampai anak kecil sekarang mah udah banyak, saya ikut seneng. Melihat fenomena jilboobs, saya ikut sedih. Cuma mencela dan saling serang nampak bukan solusi. Tar bentar lagi ada yang bilang, itu kerjaan antek yahudi tuh, memecah belah islam. Nah loh, mau digituin? wkkw.

Doakan aja, semoga kemaluan mereka makin tebal, maksudnya kalau mau pakai baju malu duluan, karena diingatkan oleh si jilbab apa masih pantas pakai yang ketat. Kalau mau difoto, malu duluan juga, diingatkan lagi ama si jilbab, apa muka udah bedakan, eh salah apa pantes dada ditonjol-tonjolin.

Yah udah ah, gak usah komen tentang orang, saya aja deh, dengan kondisi yang masih setengah jalan ini, ilmu setengah jalan, aplikasi setengah jalan, saya ada dimana ya kira-kira. Kan saya nggak merasa jilboobs, tapi belum jilbaber. Saya nggak merasa overweight, tapi saya juga jauh dari kata kurus. Saya belum sukses, tapi saya juga nggak merasa gagal. Tuh kan, selama itu proses yang bisa berubah, masih bisa ada hal yang ditengah-tengah lah, kecuali soal laki-perempuan atau menang-kalah pilpres. Itu harga mati Jendraaal. Hehehe...

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun