Suasana kamar yang remang mendukung romantisme malam itu. Sepasang suami istri duduk bersandar setengah tidur di kasur mereka. Sepertiga malam sudah hampir datang, namun mereka masih terjaga. Entah sudah berapa malam mereka begitu, mungkin hampir sebulan tidur mereka sudah tak berkualitas.
Malam itu mereka lewati dengan bercakap sambil berpegangan tangan, sesekali saling mengelus agar lelah hilang, lalu kadang menguap menahan kantuk. Kadang juga mereka sama-sama tertawa kecil, tapi tak berapa lama saling mengusap air mata yang keluar, entah karena menahan kantuk atau karena percakapan yang menyentuh emosi masing-masing..
Sampai akhirnya percakapan yang tak akan terlupakan oleh istrinya di kemudian hari itu dimulai sang suami;
"Bu, kalau nanti ayah memang pergi duluan karena penyakit ini, ibu tetep tinggal disini ya. Jangan pindah kemana-mana atau pulang kampung.." kata suami lirih.
Percakapan mengenai persiapan jika terpisah maut itu sama sekali belum pernah masuk dalam agenda obrolan mereka. Maklum manusia, paling takut menghadapi mati.
"Rumah ini kenang-kenangan kita.. nyarinya susah, dapetnya susah.. aku bahagia banget di rumah ini. Rumah terbaik untuk keluarga kita" sambung sang suami.
"Iya Ay, amin amin, insyaallah memang rejeki yang baik. Tapi kita kan mau barengan sampai tua disini. Nunggu ata pulang kuliah sambil minum kopi racikan sendiri.. Ay yang bikinin kan ya..hehe" istrinya mencoba mencairkan suasana.
Tidak ada jawaban dari sang suami. Hanya genggaman tangannya yang makin erat pada istrinya.
"Aku sayang banget sama ibu.." katanya tanpa menggubris kata-kata istrinya. "Padahal dulu kirain ibu nggak akan setia. Pas pacaran aku pernah sakit ibu malah pergi ke ondangan sama temen2nya"
"Yiah itu kan masih pacaran.. sekarang yang sakit ini suamiku, surgaku.. kerja aja ibu nggak pengen pergi kalau bukan karena kita perlu, dan ibu malu ama kantor"
"Makasih bu, aku bangga sama ibu." Suami mengecup istrinya berulang-ulang. Sang istri sesekali mengusap pipinya yang mulai basah. Maklum suaminya bukan tipe pria romantis, tak pernah mengobral kata manis apalagi puitis.
"Ibu nggak ngarep apa-apa selain surga. Semoga ini jadi jalan kita dicuci dosa, dan ibu jadi istri solehah" kata sang istri terbata.
"Kalau indikasi istri solehah itu boleh dari subjektivitas suami, ibu udah jadi istri solehah. Aku yang kasih nilai" kata-kata suaminya hampir menumpahkan tangis istri yang bahagia.
"Amin..." lirih istrinya. Kepala mereka saling bersandar.
"Kalau aku memang meninggal duluan, ibu mau nikah lagi nggak?" tanya suaminya kembali ke topik di alam fikirannya.
"Ya nggak tau lah. Aku nggak kepikiran tentang itu.." istrinya merasa tidak nyaman dengan pertanyan seperti itu.
"Jangan ya bu...aku gak kuat bayanginnya, saking sayangnya sama ibu.." suara sang suami agak tercekat dan seperti tak bisa meneruskan kata-katanya.
Sang istri terdiam tak bisa menjawab, hanya pelukan yang ia berikan pada suaminya, "Udahlah Ay, kita nggak usah ngebahas ini terus.. malah bikin makin sakit."
Setelah mengambil nafas panjang, istrinya meneruskan "Kita harus fokus ikhtiar dan doa buat kesembuhan Ay. Lagian umur mah siapa yang tau...hanya Allah, bukan dokter. Siapatau malah Ay sehat dan ibu yang duluan gak ada.. Nanti gimana kalau gitu, apa Ay juga mau nikah lagi? Aku sih nggak bisa bayanginnya kasian ata kalau punya ibu tiri. Jadi kalau Ay emang terpaksa nih, terpaksa nikah lagi, ata titipin aja sama bude atau tantenya ya...hehhe"
Sang suami mengelus wajah istrinya, "Mana mungkin aku nikah lagi. Bukan apa-apa, nggak akan ada yang mau sama orang gila.."
Sesaat hening.
"Cuma ibu yang mau sama orang gila ya.." goda sang istri. Dulu kadang si istri keceplosan meledek suaminya gila, tapi maksudnya gila kalau lagi bercanda. Canda tawa sang suami sering menghibur membuatnya terpingkal-pingkal.
"Aku pasti sakit gila kalau ibu nggak ada disamping aku.." Suaminya menutup pernyataannya yang mengambang.
Sang istri hanya tersenyum tipis, sejuta makna untuknya dengan kalimat itu. Senyumnya ditemani mata yang menghangat, ada bulir air mata mengumpul disana.
"Lah, jangan dong, ata gimana, kasian amat ngurus ayahnya gila..." kata sang istri sambil berusaha tersenyum.
"Kan ata dititipin budenya.." suaminya balas tersenyum walaupun lemah. Tangannya menarik tubuh sang istri mendekat.
Lalu mereka membiarkan tangan mereka saling mengeratkan pelukan. Berharap malam memberi kesempatan untuk mengobati rasa lelah..
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H