Pada tulisan ini aku ingin mencurahkan kegelisahan hati yang sudah lama hanya aku simpan dalam-dalam untuk diriku sendiri. Pada tulisan ini pada akhirnya aku harus menyerah pada kegelisahan yang selama ini aku simpan dan enggan untuk aku tuliskan untuk aku bagikan. Selama ini aku terkadang mencela, mencaci, kadang pula memuji, dan kadang pula menertawai. Sudah hampir 1 tahun lebih aku menghapus media sosial karena gerah dan resah dengan isu-isu yang selalu berhembus mengenai SARA. Ya... SARA, dari sudut apapun saya enggan untuk menuliskannya. Namun pada akhirnya saya harus menyerah pada keresahan dan kegelisahan yang aku rasakan mengamati media dan pemberitaan akhir-akhir ini.
Ada apa dengan kita, mengapa seolah-olah perbedaan menjadikan kita terpecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil yang harus selalu dipertentangkan. Mengapa ke-Indonesiaan kita tidak cukup hanya dibuktikan dengan KTP berlabel WNI saja, mengapa harus pula dibedakan dengan Suku, Agama, dan Ras yang mengkotak-kotakan ke-Indonesiaan kita. \
Bukankah kita semasa SD kita diajarkan untuk memahami semboyan Bineka Tunggal Ika. mengapa ke-manusiaan kita harus dibatasi oleh kesukuan, perbedaan Agama dan Ras, bukankah cukup kemanusiaan kita cukup dibuktikan dengan sama-sama keturunan Nabi Adam. Apakah belum cukup? mengapa nurani kita masih harus dipengaruhi oleh Suku, Agama dan Ras, apakah sebagai sesama mahluk ciptaan tuhan tidak Cukup?
Apakah karena berbedaan Agama, Suku, dan Ras, perkataan dan prilaku orang-orang dipandang berbeda. Mengapa berbeda perlakuan kita terhadap seorang pejabat yang dianggap menghina Agama dengan musisi yang mengina Agama. Mengapa yang satu harus sedemikian dibenci sedangkan yang lain harus diberi maaf. Mengapa yang satu harus dinistakan sedangkan yang lain diberi panggung untuk mengecam penista yang lain. Mengapa dewan suci para pemuka Agama memilih mendamaikan yang satu lalu menistakan yang lainnya. mengapa dewan pemuka agama langsung merespon cepat perkataan pejabat itu dari pada perkataan politisi yang terindikasi sama melakukan penistaan Agama. apakah karena perbedaan? apakah karena Suku, Agama dan ras? tidak bisakah kita memandangnya sebagai sesama manusia yang khilaf dan sudah meminta maaf. mengapa kita harus membedakan kepada siapa kita harus memberi maaf?
Ada apa dengan kita, saking sibuknya mengurusi perbedaan sampai abai pada diri kita? mengapa kita sibuk mengurusi orang lain yang dudah jelas-jelas beda dan mengabaikan orang-orang yang sama dengan kita. mengapa kita diam saja mendengar seorang anak kecil tak berdosa mati oleh oraang yang mengatas namakan Agama. Mengapa orang-orang yang sudah jelas berencana untuk membunuh orang-orang tak berdosa masih saja kita bela. malah sampai ada tim pembela segala? apakah karena pembunuh tersebut satgu golongan dengan kita? percaya lah mereka tidak peduli siapa yang dia bunuh, yang dia pedulikan hanya surga yang diyakini akan didapatnya..
Ada apa dengan kita? apakah karena satu golongan kita abai terhadap penistaan-penistaan agama yang dilakukan oleh diri kita sendiri. mengapa kita begitu abai ada seorang kangjeng yang menjual agama dan kealiman untuk menipu dan menggandakan uang? atau kita juga abai terhadap guru spritual yang ternyata menjual agama untuk hawa nafsunya? Apakah penistaan agama itu hanya berlaku untuk orang-orang diluar Agama kita?
Akh dewan pemuka agama terhormat yang katanya bisa mengeluarkan fatwa yang mengikat pada setiap individu penganut agamanya. lalu muncullah polisi-polisi fatwa yang bisa melakukan apa saja berdasarkan fatwa itu, karena itu merupakan sebuah kebenaran. bagaimana bisa salah karena yang mengeluarkan mengaku pewaris para Nabi yang suci.Â
Tapi mengapa fatwa mereka diterima sebagian dan diabaikan sebagian? Mereka berjubah mendatangi untuk mensosialisaikan fatwa-fatwa itu, agar tidak ada yang memaksa memakai atribut keagaan diluar Agamanya? mereka menggeruduk pusat-pusat perbelanjaan dan memaksa. Tapi sungguh saya tidak pernah mendengar mereka berjubah yang sama mengeruduk orang-orang yang sedang Siskamling untuk melarang mereka merokok? dan terus terang saya masih bertanya? apakah mereka masih menggunakan BPJS kesehatan ketika mereka sakit? apakah fatwa itu harus diterima jika sesuai dengan keinginan? lalu diabaikan sebagian? lantas saya jadi bertanya? kita sedang membela apa? apakah kita sedang membela kehendak kita? pakah kita sedang membela keinginan kita? ataukah kita sedang membela kepentingan kita?
dan lalu muncullah kenyinyiran-kenyinyiran berbau SARA pada apapun. terbaru ada orang yang mempermasalahkan lagi-lagi SARA untuk ukuran kepantasan pahlawan yang ada di mata uang. dengan keyakinannya akan suatu kebenaran dia mempertanyakan kepantasan seorang pahlawan terpampang di uang yang beredar. Saya jadi berfikir, apa jadinya jika Laksama Meida enggan membantu para pendiri bangsa untuk kemerdekaan kita karena beda Suku, Agama, dan Ras, masihkan kita merayakan kemerdekaan taggal 17 Agustus? atau apa jadinya jika para pahlawan itu mempertanyakan dulu Suku, Agama, dan Ras rakyat yang sedang diperjuangkannya? mungkin sampai hari ini kita masih terjajah dan belum sama sekali merdeka.
Ini keresahan saya, saya bersuku Sunda, beragama Islam, ber-KTP WNI dan sejauh ini saya masihlah seorang MANUSIA.
Pelangi 22/12/16