Bicara tentang generasi millennial memang tak pernah membosankan. Ada saja yang bisa diulik lebih mendalam tentang generasi ini. Banyak pro dan kontra tentang millennial.Â
Ada yang bilang generasi ini merupakan generasi ‘kunci’ dalam perubahan zaman karena mereka merasakan masa peralihan dari tahun 1990 an ke 2000an, serta mengalami masa peralihan teknologi yang luar biasa. Dan tak sedikit pula yang berpendapat, millennial adalah generasi paling resilient. Benarkah demikian?Â
Ternyata, di antara banyak keunggulan dan ke-resistensi-an yang dimiliki millennial, tak sedikit pula yang memandang sebelah mata akan keberadaan mereka.Â
Memang, sebaiknya generasi millennial jangan berbangga hati dulu dengan label disematkan, karena menjadi millennial tidak serta merta membuat generasi ini menjadi kaum paling keren. Mari kita bahas apa itu generasi atau kaum millennial, serta siapa saja yang digolongkan ke dalam segmen ini.
Jadi, menurut Strauss dan Howe (1991), millennial adalah mereka yang lahir antara tahun 1980 sampai 2000 dan saat ini memiliki rentang usia 20 sampai dengan 40 tahun.Â
Artinya jika dilihat dari segi umur, generasi ini merupakan generasi paling produktif dalam berkegiatan termasuk juga dalam menghasilkan ‘income’. Tapi kenapa ya selain digadang-gadang sebagai kaum paling kreatif, inovatif dan juga paling bisa beradaptasi di semua situasi, millennial juga disebut kaum yang cenderung pembosan, suka hal-hal praktis dan suka berhutang? Apakah hal ini berhubungan dengan perkembangan informasi dan teknologi?
Jadi, seperti yang kita rasakan bersama, dunia semakin lama semakin mengglobal, dan banyak hal-hal yang terasa semakin mudah untuk diakses, sehingga membuat semua orang seperti dimanjakan oleh teknologi, mulai dari soal perut sampai hal-hal sekunder lainnya. Ini yang kerap terjadi di kehidupan sehari-hari, misalnya saat lapar menyerang, tapi malas memasak?Â
Tidak perlu khawatir, tinggal pesan makanan melalui sistem pesan antar melalui banyak aplikasi yang tersedia pada gadget kita. Kemudian, tidak punya waktu untuk ke pusat perbelanjaan?Â
Tinggal buka platform belanja digital dan dalam sekejap bisa membeli apapun yang diinginkan hanya dengan bermodalkan aplikasi, internet banking atau bahkan bisa mencicil melalui sistem pembayaran ‘pay-later’ yang marak di berbagai platform.Â
Bahkan, ketika malas mengantri kendaraan umum seperti angkot, bus dan juga kereta, sekarang sudah banyak tersedia jasa tumpangan pribadi via on-line yang lebih cepat, mudah dan praktis.
Gaya hidup yang serba instan dan praktis ini ternyata lambat laun berdampak negatif pada generasi millennial (dan tentu saja generasi dibawahnya). Hal ini menjadi fenomena yang kian jamak di banyak kota besar di Indonesia. Belum selesai masalah itu, ternyata masih ada masalah lain yang dihadapi oleh generasi millennial.