Kehidupan masyarakat pada suatu wilayah tidak lepas dari keberadaan dan keadaan budaya didalamnya. Budaya memang merupakan hal yang niscaya ada pada setiap diri manusia karena budaya sendiri bermakna sebagai suatu hasil cipta dan karya manusia yang merupakan faktor penyusun masyarakat. Hampir dapat dipastikan bahwa manusia berada dan berkembang dalam bentuk masyarakat yang didalamnya pasti akan terbentuk dan berkembang kebudayaan.
Salah satu budaya sampai saat ini masih tetap dipertahankan oleh masyarakat Jawa adalah tradisi ruwatan perkawinan anak tunggal di Desa Selopuro Kabupaten Blitar. Meskipun berada di wilayah ini banyak tokoh agama Islam (mubaliq), masyarakat Desa Selopuro masih memegang tradisi Jawa tersebut dan tidak ada keinginan atau keberanian untuk meninggalkannya.
Tradisi ruwatan anak tunggal itu sendiri bertujuan untuk menghindarkan masalah-maslah dalam kehidupan perkawinan anak tersebut. Anak tunggal merupakan anak satu-satunya yang akan menjadi penerus generasi keluarga yang dipandang perlu diruwat. Tanpa ruwatan, akan terjadi beberapa hal negatif pada diri anak tunggal tersebut yang diantaranya perceraian, anak tunggal dapat menjadi gila, pernikahan tidak langgeng, atau bahkan anak tunggal tersebut akan cepat menemui ajalnya (mati).
Tata cara tradisi ruwatan perkawinan anak tunggal dilaksanakan dengan menggunakan sarana-sarana air kembang tujuh rupa, kain putih, selendang baru, jadah pasar, pipisan dan pisang emas. Mulanya anak tunggal akan mengenakan selendang baru untuk penutup tubuhnya pada saat mandi, setelah mandi dengan air kembang tujuh rupa, tubuh anak tunggal kemudian ditutupi dengan kain putih, kemudian anak tunggal disandingkan dengan pipisan yang menjadi simbol adik/saudara bagi pengantin, sedangkan jajan pasar (jadah pasar) dan pisang emas untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat sebagai wujud syukur atas terlaksananya ruwatan.
Ruwatan anak tunggal sekaligus menjadi bukti bahwa dalam lingkungan masyarakat Jawa pernikahan juga menjadi salah satu aspek penting dalam hidup dan berkehidupan. Berkenaan dengna pentingnya pernikahan, Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk mementingkan prosesi pernikahan apabila telah memenuhi syarat.
Akan tetapi, Islam tidak pernah memberikan ajaran adanaya keharusan ritual pada pernikahan yang dilakukan oleh umatnya secara khusus yang memiliki perbedaan dengan umat secara umum. Hal ini berkaitan erat bahwasanya tidak ada keistimewaan duniawi pada diri manusia menurut Islam. Keistimewaan yang membedakan perlakuan Allah kepada manusia hanya didasarkan pada ukuran ukhrawi, yakni masalah ketakwaan.
Dengan demikian, secara umum tradisi ruwatan pernikahan anak tunggal yang diselenggarakan oleh masyarakat Desa Selopuro tidak ada relevansinya dengan nilai ajaran agama Islam. Akan tetapi, masyarakat Desa Selopuro, khususnya yang beragama Islam tetapi saja meyakini dan menjalankan tradisi tersebut dan bahkan beranggapan bahwa tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nilai ajaran Islam. Syariat Islam memang boleh digabungkan dengan hukum lainnya dengan catatan syariat Islam menjadi landasan dasarnya dan bukan menjadi syariat yang mengikuti hukum lain dan tidak menyebabkan hilangnya hukum Islam akibat percampuran tersebut. Akan tetapi di sisi lain, adanya tradisi yang dilakukan oleh umat Islam di luar syariat Islam tidak serta merta harus disalahkan. Hal ini berhubungan dengan manfaat dan keburukan dalam Islam serta adanya penghormatan Islam terhadap budaya lokal masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI