Mohon tunggu...
Nalendra Satyatama
Nalendra Satyatama Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA

Menyelami hikmah dalam semesta

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Orang Barat: Sudah Bisa ke Bulan, Kelas Menengah: Bisa Bertahan dari Bulan ke Bulan

12 Maret 2024   23:35 Diperbarui: 13 Maret 2024   01:08 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Saat menulis topik ini, saya mencoba memantaskan diri apakah saya termasuk kelas menengah. Dari lubuk hati yang terdalam dan terluar, maunya sih termasuk ke kelas orang kaya. Tetapi, realitas yang saya rasakan sekarang, banyak perbedaan antara saya dan teman-teman saya yang saya kategorikan sebagai orang kaya. 

Jika tidak tergolong orang kaya, timbul pertanyaan termasuk kategori hampir miskin atau rentan miskin? Ah, suka-suka yang membuat kategorilah. 

Seperti yang tertulis di biodata akun saya, saya bekerja sebagai guru sekolah swasta. Alhamdulillah dapat gaji bulanan karena harus masuk Senin-Jumat pukul 06.45 -15.15 WIB. Ada atau tidak ada jam mengajar,  tetap harus masuk.  

Kadang ada uang tambahan untuk guru-guru dari beberapa kegiatan sekolah. Pulang sekolah, saya mengajar di bimbingan belajar (bimbel) atau privat. Ini saya sebut dengan "nyangkul". Mengajar di bimbel lebih dahulu saya lakukan daripada di sekolah.

 Saya mulai mengajar bimbel sejak April 2003 atau semester IV, sedangkan mengajar sekolah mulai Februari 2007. Saya "nyangkul" sampai pukul 20.00 WIB di bimbel. 

Jika ada privat, bisa lebih malam lagi. Sabtu tetap saya pakai untuk "nyangkul" di bimbel. Biasanya hanya sampai maksimal pukul 13.00 WIB. Ada juga privat di Sabtu atau Minggu jika muridnya tidak bisa belajar pada Senin-Jumat.

Belum cukup sampai di situ. Saya pun mencoba menambah penghasilan dengan berjualan makanan. Untuk yang ini, saya hanya berpromosi di aplikasi WhatsApp (wa). 

Produk makanan saya beli dari teman untuk saya jual kembali. Istri ikut membantu dengan mengajar privat atau sesekali membuat makanan untuk kami jual. Dari semua ini, apakah cukup untuk membiayai hidup? 

Cukup atau tidak, yang pasti saya tidak pernah menghitung total penghasilan sebulan. Bahkan, melihat saldo tabungan pun jarang saya lakukan. Takut kenapa-napa. Hahaha. Ini pula yang jadi bahan bercandaan dengan istri. Biar dia yang melihat saja saldo di ATM setiap transaksi. Begitu pula saat menggunakan mobile banking. Sangat jarang melihat saldo yang tersisa. 

Paling-paling saya lihat untuk mengecek jika ada transaksi yang tertunda atau bermasalah. Dalam keuangan keluarga, prinsip saya uang saya adalah uang keluarga. Artinya, semua pemasukan saya taruh di bank dan diketahui istri. Masing-masing kami pegang ATM. 

Saya masih tinggal di rumah orang tua saya. Di rumah kami, ada saya, istri, ketiga anak kami, kakak saya yang perempuan, dan ibu saya. Anak pertama dan kedua bersekolah di sekolah negeri, anak ketiga di TK swasta. Kedua anak saya juga saya masukkan ke kursus untuk menunjang pendidikan formalnya. 

Dalam pembiayaan operasional sehari-hari, untuk bayar listrik dibantu abang saya yang tingkat ekonominya saya golongkan sebagai orang kaya dan ibu juga masih bantu karena ada usaha kecil-kecilan. Hanya itu. Sisanya dibebankan ke saya. Belum cukup, ada lagi pengeluaran lainnya. 

Alhamdulillah, di usia 38 tahun pas tahun 2020, saya bisa mencicil rumah subsidi ukuran paling kecil yang jaraknya 45 km dari rumah orang tua yang saya tempati ini. Berarti sekarang sudah tahun ke-4 mencicil dari angsuran 15 tahun. 

Kembali ke pertanyaan tadi, apakah cukup kerja ke sana-sini untuk membiayai ini itu? Jawabannya tergantung jawaban di saldo bank. Karena saya membatasi diri untuk melihat saldo, entah kadang atau sering, ada jawaban begini di mesin ATM atau mobile banking: "saldo tidak cukup". Nah, jika ada jawaban begini sebelum gajian, jawabannya bisa disimpulkan sendiri. Lalu bagaimana solusinya? Alhamdulillah, ada BUMN yang bisa menyelesaikan masalah tanpa masalah. Jika tidak ke sana, alhamdulillah punya teman-teman baik dan memahami kondisi saya.

Lalu, bagaimana  nanti saat kebutuhan tentunya bertambah, apalagi anak pertama kami dua tahun lagi harus kuliah? Gampangnya, apakah saya bisa meningkat dari posisi sekarang? 

Gampangnya lagi, misalnya, apakah saya bisa beli mobil? Pertanyaan-pertanyaan tadi tentu wajar ditanyakan dan tentu saja ada dalam pikiran saya. Namun, alhamdulillah, di HP ada youtube. 

Tinggal putar ceramah ustadz-ustadz yang mengajarkan tentang syukur sabar, merasa cukup, ikhtiar, ikhlas, bersedekah, tawakkal, dan nasihat-nasihat kebaikan lainnya. 

Berada di titik ini sudah  merupakan pencapaian sensasional buat saya. Semua pencapaian harus disyukuri. Bersyukur tentu tidak diartikan sebagai tindakan pasif. Selain bersyukur, ada ikhtiar yang harus dimaksimalkan dengan tawakkal sebagai muaranya. Yang utama semoga kami diberikan kesehatan lahir batin. Pernah saya mendengar lelucon, jika ada orang barat sudah bisa main ke bulan, kita lebih hebat karena bisa bertahan dari bulan ke bulan. Salam sehat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun