Mohon tunggu...
Lena Hanifah
Lena Hanifah Mohon Tunggu... profesional -

mencintai buku dan anak-anak setengah mati.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Legalisasi ASI

15 Mei 2011   10:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:40 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hampir semua orang telah mafhum bahwa ASI adalah satu-satunya makanan terbaik bagi bayi pada 6 bulan pertama kehidupannya, dan selanjutnya sampai ia berusia 2 tahun dengan didampingi makanan-makanan pendamping ASI. Asi ekslusif 6 bulan adalah pemberian ASI selama 6 bulan tanpa disertai pemberian makanan atau minuman apapun meski sekadar air putih atau pisang.

Kita tersentak ketika membaca berita bahwa menurut sensus Dasar Kesehatan Indonesia pemberian ASI ekslusif terus menurun. Pada tahun 1997 sebesar42,4 % kemudian turun menjadi 39,5 % pada tahun 2003 (Kompas, 2 Agustus 2008) . Bagaimana dengan 2007? Sayang, belum ada penelitian lanjutan tentang hal tersebut. Tapi dapat diperkirakan persentasi tersebut semakin menurun seiring dengan meningkatnya pemberian susu kaleng (susu formula).

Hal ini tentu sangat memprihatinkan, apalagi ketika diketahui bahwa di negara-negara barat yang notabene lebih maju justru terjadi sebaliknya. Persentasi angka menyusui di Amerika Serikat mencapai 70%, dimana 3 dari 4 ibu menyusui bayi mereka (www.detik.com 2 Mei 2008). Pilihan untuk menyusui memang terletak di tangan ibu. Akan tetapi keberhasilan pemberian ASI sangat tergantung pada dukungan yang didapat ibu dari keluarga dan lingkungannya. Harus diingat bahwa memberikan ASI adalah kewajiban orangtua dan merupakan hak mutlak bayi.

Negara dalam hal ini memiliki peran besar untuk memastikan pemberian ASI ekslusif demi meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Karena bagaimanapun jika tanpa ada dukungan dari negara (pemerintah; eksekutif dan legislatif) maka kemungkinan bagi ibu untuk dapat menyusui bayinya amatlah kecil. Kita memang telah memiliki Kepmenkes RI No. 450/MENKES/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi Indonesia.

Akan tetapi Kepmenkes saja tidaklah cukup. Harus ada tindakan tegas yang memberi keleluasaan bagi ibu untuk menyusui bayinya. Seringkali kesulitan ibu untuk menyusui dimulai sejak melahirkan. Tenaga kesehatan yang kurang mengerti akan pentingnya ASI, sehingga malah memberikan susu formula pada bayi yang baru lahir, tanpa memberikan kesempatan inisiasi menyusui dini (IMD). Bayi yang diberikan susu formula apalagi jika menggunakan botol, tentu akan mengalami kesulitan untuk menyusui langsung pada payudara ibunya. Selanjutnya hampir dapat dipastikan ibu akan lebih memilih memberikan susu formula daripada ASI dengan alasan bayi tidak mau menyusu.

Kesulitan menyusui akan meningkat ketika ibu bekerja. Mayoritas ibu yang tidak memberikan ASI beralasan bahwa mereka harus bekerja. Kalaupun ASI dapat diperah, mereka merasa kesulitan karena tidak semua perusahaan atau kantor menyediakan ruang memerah ASI dan minimnya waktu yang diberikan untuk itu. Sedangkan memerah ASI memerlukan suasana yang tenang agar hormon oksitoksin yang memproduksi ASI dapat bekerja dengan baik. Padahal jika tidak diperah secara teratur, maka produksi ASI akan terus menurun karena ASI diproduksi dengan prinsip Demand and Supply. Yakni dimana ada permintaan maka akan ada produksi.
Kurangnya informasi akan manajemen ASI perah (cara memerah, menyimpan dan memberikan ASI perah) menjadi salah satu andil tidak diberikannya ASI pada bayi.

Pemerintah harus menciptakan aturan tegas yang mewajibkan setiap tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan) dan perusahaan tempat ibu bekerja untuk membantu ibu agar dapat memberikan ASI pada bayinya sejak lahir. Kalau perlu diberikan sanksi hukum bagi rumah sakit, klinik yang menyulitkan ibu untuk menyusui bayinya, kecuali untuk alasan medis yang benar-benar terpaksa. Rumah Sakit dan klinik memiliki peranan yang sangat vital untuk dapat mensukseskan pemberian ASI dengan mengajarkan dan mensosialisasikan manajemen ASI.
Begitu juga terhadap perusahaan atau perkantoran, harus ada aturan hukum yang tegas dan jelas untuk memberikan kesempatan bagi ibu untuk memerah ASI.

Pemerintah juga harus memperbanyak ruang-ruang menyusui di tempat-tempat umum seperti pusat-pusat perbelanjaan, terminal, stasiun, pelabuhan dan bandara. Mungkin Kalimantan Selatan dapat meniru apa yang telah digagas oleh pemerintah daerah Makassar untuk membuat Perda khusus untuk ASI. Peraturan Daerah tentang ASI adalah sebuah langkah awal yang sangat bagus selama perda tersebut menghindari kriminalisasi terhadap ibu. Bukan berarti ibu yang tidak menyusui akan dijatuhkan sanksi hukum, melainkan Perda tersebut haruslah lebih menekankan kepada pembangunan fasilitas yang mendukung pemberian ASI, dan yang tak kalah penting adalah mempergencar sosialisasi manajemen ASI.

(ditulis 2008)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun