Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wiraatmadja menyatakan dalam acara Capital Market Summit Expo (CMSE) pada 20 Oktober 2020, bahwa PT.PLN (persero) termasuk dalam satu dari tiga sektor yang terdampak pandemi Covid-19 secara signifikan (20/10). Direktur Capital dan Management PT PLN (Persero), Syofvi Felienty Roekman mencatat, penurunan penjualan listrik turun signifikan sampai minus 10%, kondisi ini pertama kali dialami oleh BUMN tersebut.
Desember 2020, total utang dalam pembukuan PT PLN (Persero) mencapai Rp 452,4 Triliun, angka ini hamper mencapai setengah kuadriliun. Meski demikian, PT PLN (Persero) berhasil meningkatkan kinerja keuangan selama pandemi Covid-19. Dalam laporan keuangan yang dirilis awal pekan 20 Mei 2021, PLN memiliki peningkatan laba bersih Rp1,6 triliun dari laba bersih pada 2019 sekitar Rp4,3 triliun, dengan total mencapai Rp5,99 triliun tahun 2020. Pencapaian lain, PT PLN (Persero) mampu menurunkan rasio utang kena bunga (interest bearing debt) sebesar Rp452,4 triliun. Pencapaian ini juga didukung aksi korporasi PLN berupa pelunasan pinjaman sebelum jatuh tempo berkisar Rp30 triliun, setelah diperoleh kompensasi.
Kondisi keuangan yang tertekan membuat PT PLN (Persero) harus mengatur ulang strategi demi mampu bertahan. Upaya yang dilakukan dengan menjadikan bisnis layanan internet sebagai penopang ketika pandemi menurunkan demand listrik, akibat penutupan sector industry terutama dan kebutuhan masyarakat akan jaringan internet yang tinggi akibat segala aktivitas dilakukan secara daring.
Sebagai perusahaan BUMN yang menyediakan energi listrik, PLN bertanggung jawab memenuhi kebutuhan listrik seluruh pelosok Nusantara, kini PLN melakukan diversifikasi layanan untuk memberikan akses informasi melalui penyediaan internet yang cepat dan minimum gangguan. Direktur Utama PT PLN (Persero) Zulkifli Zaini menyatakan layanan tersebut merupakan ekspansi perseroan ke penyediaan jasa layanan internet cepat berbasis fiber optic melalui anak PLN, yakni PT Indonesia Comnets Plus.
Sebagai anak usaha PLN, Icon+ dapat menjangkau kawasan-kawasan yang sulit dimasuki oleh pemain layanan internet tetap lainnya seperti IndiHome. Terlebih dengan delivery time tercepat dengan menggunakan RoW dan tiang milik PLN yang sudah tersedia di seluruh wilayah Indonesia. Iconnet menang secara insfrastruktur yang telah disediakan oleh PLN, meski masih membutuhkan pembaruan kualitas.
Layanan yang disediakan oleh Iconnet mencakup Keamanan jaringan yang sangat tinggi dengan menerapkan metode Analisa pada Label Spoofing, Routing Separation dan Address Space. Service Point (SERPO) yang menjangkau wilayah di seluruh Indonesia memudahkan dan mempercepat penanganan gangguan di lokasi pelanggan. Selain mendekat dari sisi jarak, layanan pun dibuka dalam 24 jam, sehingga meminimalkan kekhawatiran pelanggan ketika terjadi gangguan. Terlebih pelanggan dapat memantau penggunaan bandwidth pada layanan IP VPN interface menggunakan aplikasi MRTG. Selain itu, jaringan Iconnet mampu mendukung layanan Triple Play.
PLN memasang target 20 juta pelanggan Iconnet hingga 2024, sedangkan sepanjang tahun 2020 Indihome memiliki 8,02 juta pelanggan. Masuk akal ketika Iconnet mengembangkan bisnis ini sebagai upaya dalam menopang diversifikasi bisnis PLN. Target pasar Iconnet yang sama membuat tingginya potensi gangguan terhadap Indihome oleh PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) yang juga berstatus sebagai BUMN. Kecuali keduanya saling bersinergi dalam mengembangkan bisnis ini. Fakta yang terjadi saat ini sudah terjadi gap persaingan, dimana untuk variable control kecepatan internet 10 Mbps, Indihome memasang tarif Rp195 ribu/bulan, sedangkan Iconnet memangkasnya menjadi Rp185 ribu/bulan. Untuk variable control 100 Mbps yang lebih dibutuhkan oleh penggunaan skala besar, sudah barang tentu masyarakat lebih memilih Iconnet dengan biaya Rp427 ribu/bulan daripada Indihome yang mencapai Rp1,2 juta/bulan.
Secara teknis, Iconnet memiliki cakupan yang lebih luas bahkan mampu menjangkau wilayah yang sulit sekalipun. Direktur LPPMI Kamilov Sagala menyatakan bahwa meski kabel PLN yang digunakan mampu untuk transmisi data internet, namun memiliki kualitas yang kurang mumpuni, sehingga akan melakukan investasi untuk fiber optic. Dari sini, dikhawatirkan langkah diversifikasi layanan listrik ke internet akan membengkakkan dari sisi anggaran infrastruktur. Meskipun pembaruan kualitas ke fiber optic lebih berkualitas dibanding media coaxial dan wireless, juga berpotensi untuk upgrade kapasitas bandwidth yang lebih besar.
Dengan adanya peristiwa ini, dibutuhkan evaluasi secara holistic, sehingga sebagai perusahaan andalan negara, sesama perusahaan BUMN memiliki ranah spesifik yang tidak saling tumpang tindih, meski saham tetap dipegang ditangan yang sama. Posisi PLN yang menjadi satu-satunya perusahaan yang memonopoli pasar listrik Indonesia sangat krusial, dimana kebutuhan kelistrikan hanya bertumpu pada PLN saja. Diharapkan evaluasi kebijakan kedepan mampu menekan hutang perusahaan sehingga focus mengembangkan sector ketenagalistrikan Indonesia.
Referensi: