Apa yang merupakan tantangan yang paling besar dalam dunia pendidikan pada zaman modern ini? Keterampilan siswa? Daya pikir kritis? Kemampuan para guru dan para dosen? Atau berbagai macam tantangan-tantangan yang lebih kecil yang muncul oleh karena perkembangan teknologi dan tuntutan bahwa metode pembelajaran harus berubah terus dan mengikuti perkembangan zaman?
Tentu saja semua guru dan dosen zaman modern menghadapi beberapa tantangan seperti yang baru disebut. Tetapi masalah-masalah di atas diremehkan oleh tantangan yang paling besar, yaitu: globalisasi. Menurut Dr. Tri Budhi Sastrio dalam karya Pengantar Artikel Pendidikan 2021, kita bisa meyakini “bahwa gelombang budaya paling mutakhir ini - gelombang globalisasi, namanya - akan menembus dan menghapus batas-batas negara, batas-batas sekolah dan kampus, batas-batas rumah, bahkan juga batas-batas yang selama ini dianggap sebagai kawasan yang sangat pribadi."
Kalau dipikir ulang, globalisasi bisa dikaitkan dengan setiap tantangan yang sudah disebut di atas. Apakah keterampilan dan daya pikir siswa akan cukup untuk berkompetisi dan menjadi unggul di dunia pada zama globalisasi? Bisakah para guru dan dosen bersaing dengan multimedia interaktif tersedia secara online, yang selalu menarik perhatian siswa dan mahasiswa kami, apabila materi yang sangat bermutu itu disusun oleh para ahli dari seluruh dunia? Apakah siswa dan mahasiswa kami akan terus mengalihkan perhatian mereka kepada dunia online dan informasi global, dan semakin lama semakin mengabaikan ajaran guru atau dosen mereka?
Saya jawab, di mana ada tantangan, pasti ada peluang. Peluang kita sebagai guru dan dosen, terutama di dalam bidang bahasa, adalah berikut: kita bisa membimbing para siswa dan mahasiswa kami untuk mencerna informasi dari pihak luar dengan lebih bijak dan mencontohkan bagaimana cara mempraktikkan gaya hidup yang terus-menerus mengutamakan pembelajaran.
Untuk mengulas peran seorang guru di dalam kesempatan yang disediakan oleh fenomena globalisasi, saya akan menggunakan istilah langue dan parole dari teori bahasa, bidang linguistik sebagai sebuah metafora. Langue dan parole adalah dua konsep yang berlawanan - yaitu sebuah dikotomi - yang pertama adalah sebuah sistem sosial yang diterima atau disetujui secara tidak sadar oleh masyarakat umum, dan mencangkum semua konsep-konsep dan ide-ide yang dapat disebut atau diungkapkan di dalam sebuah bahasa. Dengan kata lain, langue merupakan pengumpulan atau kelompokkan dari segala kemungkinan, sedangkan parole menandai sesuatu yang bersifat lebih individu, yaitu pandangan pribadi atau ungkapan yang bisa saja tidak pernah diungkapkan sebelumnya karena baru dipikirkan oleh seseorang. Kenapa kedua konsep linguistik ini disebut sabagai sebuah dikotomi? Karena apa yang akan diungkapkan oleh seseorang pasti harus ditarik dari kategori “segala kemungkinan”.
Konsep langue dan parole bisa dipakai sebagai sebuah metafora, di mana langue mirip dengan ledakan informasi yang dimungkinkan oleh globalisasi - yaitu keadaan bahwa sekarang guru maupun siswa dihadapi dengan begitu banyak informasi secara online sehingga sulit diterapkan, dan parole mirip dengan peran dan tanggapan individu terhadap ledakan informasi itu, atau pandangan yang bisa dikembang oleh karena dibentuk oleh ilmu baru disertai masukkan dari seorang pembimbing. Dengan kata lain, kita harus mendampingi para pelajar selama mereka mencerna dan mengkaji informasi baru, sehingga proses itu bisa diteruskan setelah mereka selesai belajar secara formal. Menurut Dr. Tri Budhi Sastrio lagi, “peran sentral para pendidik pada semua tataran institusi pendidikan adalah mempromosikan soft-skill yang meliputi nilai-nilai: kejujuran, penghargaan, sikap toleran, kemampuan mendengar, empati, kerjasama, sopan-santun, disiplin dan kontrol diri. [...] Dengan kata lain tugas utama dosen dan guru haruslah membimbing untuk menalar dan berpikir kritis,” karena hanya demikianlah pelajar bisa disiapkan untuk belajar terus pada masa depan.
Tujuan semua pelajaran adalah untuk membentuk karakter dan nalar manusia, dan tentu warga dunia modern harus membiasakan diri dengan gaya hidup yang belajar terus-menerus karena akan tetap ada perkembangan ilmu dan perubahan teknologi semakin lama, semakin cepat. Siapa yang lebih baik dan lebih cocok mencontohkan gaya hidup yang berpusat pada pembelajaran daripada pendidik modern?
Inilah kesempatan kita.
Inilah peluang para pendidik di hadapan tantangan terbesar.
"Jika Anda berhenti bertumbuh hari ini, Anda akan berhenti mengajar hari esok."
(kutipan Howard Hendricks, dari karyanya Mengajar untuk Mengubah Hidup)