Entah apa yang ada di benak orang-orang yang gemar melakukan selingkuh. Adakah alasan yang paling kuat untuk membenarkan perbuatan mencurangi pasangan itu? Jika saya yang berkhianat kepada kekasih saya, maka secara otomatis pula, pasangan selingkuh saya pun telah tertipu dan orang-orang yang terhubung dengan kedua kekasih saya pun pasti sudah terkelabui ("sekali mendayung, dua hingga tiga pulau terlampaui").Â
Sungguh kejam perbuatan selingkuh ini. Konon perbuatan curang ini bisa dipidanakan. Perbuatan selingkuh ini mungkin saja masuk dalam pasal penipuan. Atau perbuatan jahat ini sudah menjadi legal karena merupakan bagian dari keseharian dan budaya, sehingga motivasi aduannya hanya berupa sanksi dari pelanggaran etika. Ataukah mungkin, adanya tujuan khusus tersembunyi, misalnya terdorong oleh alasan faktor internal dan eksternal sehingga kejadian ini merupakan pembenaran dari alasan kuat seseorang melakukan perbuatan selingkuh? (Hanya Tuhan dan yang tak punya hati yang tahu dan bisa menjawab pertanyaan seperti itu)
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, persoalan penyimpangan perilaku ini menjadi bahan kajian ilmiah sehingga kepastian dari hasil metodenya adalah berhubungan dengan penyakit. Dengan kata lain, penyalahgunaan perbuatan merugi dengan subyeknya adalah manusia, maka berlakulah vonis bahwa manusia tersebut menderita penyakit hati atau dalam keadaan sakit.Â
Persoalan selingkuh juga dibahas dalam ajaran agama. Yang intinya, adalah perbuatan menyimpang dari perilaku orang yang berkurang imannya. Jika dilakukan oleh orang yang taat pun, ini disebabkan oleh perbuatan bujuk-rayu syaitan untuk menggelincirkan manusia kepada dosa. Dan sudah tentu setiap orang yang terlibat di dalamnya juga ikut berdosa. Karena pahala dan dosa dalam ajaran agama sudan final, tidak ada lagi kompromi lanjutan. Penanganan terhadap penderita penyakit berdosa ini harus dan hanya adalah obat bertaubat yang nasuha.Â
Sehubungan dengan penyakit atau persoalan selingkuh, maka tulisan ini akan bereaksi dan menganalisa serta mengarah kepada dugaan kuat penyebab penyakit dan juga analisa obat kuat terhadap "Hubungan Terlarang Antara Diaspora Dengan Intoleransi".Â
Siapapun di jagat ini yang menjadi mahluk manusia di buana ini, sekaligus menjadi penduduk dari isi dunia ini, adalah menjadi berhak untuk mendiami bagian mana saja dari isi planet bumi ini. Tak terkecuali dialami oleh manusia-manusia pada masa-masa pra sejarah sebelumnya. Termotivasi oleh semakin sederhana terdesaknya kebutuhan ekonomi dan pentingnya tuntutan manusia untuk menjalani dan bertahan hidup di mana saja berada. Maka, kata-kata atau istilah pun muncul seiring sejalan dengan kebutuhan manusia pada jamannya.
Entah dari bibir mulut manusia siapa, kata atau istilah itu diucapkan pertama kalinya di dunia. Saya selaku Muslim, saya yakin dan tahu persis jika kata 'Iqra' adalah kata yang diucapkan pertama kali di dunia oleh mulut seorang manusia bernama Muhammad. Namun, semisal contoh kata-istilah 'migrasi', atau 'emigrasi' mungkin berasal dari wilayah yang kita kenali dan sumbernya jelas. Akan tetapi dari bibir mulut siapa penemu kata migrasi dan emigrasi tak jelas benar sampai saat ini. Mungkin begitu juga dengan kata-istilah lainnya, seperti 'kolonisasi', 'eksodus' dan 'diaspora'.Â
Terlepas dari siapakah yang menemukan kata-kata tersebut, inti dari bahasan pada tulisan ini adalah tentang penyalahgunaan maksud dan penyimpangan tujuan hingga menyebabkan terjadinya hubungan terlarang antara kata diaspora dengan maksud intoleransi.Â
Analisa saya mengacu pada suatu kegiatan berskala nasional-internasional yaitu Kongres Diaspora Indonesia. Menurut Ketua Diaspora Indonesia, Dino Patti Djalal Selasa (4/7) seperti yang dilansir voa menyatakan isu krusial yang menjadi pembahasan dalam kongres diaspora ini adalah menyelesaikan permasalahan dwi kewarganegaraan. Dino mengatakan hal itu bisa bermanfaat apabila diberikan secara selektif untuk perlindungan warga negara Indonesia (WNI) dan sumbangan pendapatan negara.
Kata diaspora sendiri memiliki pengertian yang ambigu (tak pasti), jika kata ini menjadi tema perselingkuhannya dengan intoleransi. Tetapi kata diaspora akan lebih menyangsikan lagi jika diartikan dengan dwimakna. Karena yang menjadi keraguannya adalah tema diaspora ini yang isu krusialnya menyorot masalah dwikewarganegaraan, sama sekali bukan dwipertentangan tentang siapa golongan yang lebih toleran dan siapa golongan yang pasti intoleran.Â
Pertanyaan yang paling mendasar dari landasan kebingungan saya adalah, mengapa kegiatan bertaraf nasional-internasional ini yang saya anggap mempunyai tujuan mulia guna menyelamatkan ketidakjelasan status-status hidup orang banyak (bahkan orang Indonesia sendiri) di seluruh dunia ini harus seakan-akan mengarah dan menyasar kepada persoalan toleransi di dalam Negara Indonesia?
Inilah yang saya maksud dengan perselingkuhan, ini perbuatan curang, sekaligus tujuannya menipu pemikiran orang lain!