Banyak yang tidak menyangka jika Ma'ruf Amin lebih berkompetensi menjadi cawapres apalagi wakil presiden ketimbang Mahfud MD.
Dipilihnya Ma'ruf Amin sebagai sepasang pengantin di masa penutupan pendaftaran tak ayal membuat sebagian pihak pengusungnya berat hati walaupun katanya sudah menjadi keputusan dan prerogatif Jokowi.
Koalisi pemerintah seperti macan ompong di belantara. Padahal bursa calon cawapres menyisakan begitu banyak figur dan nama. Mulai dari isu jendral Gatot, TGB, Moeldoko, Mahfud MD, hingga berakhir lucu-lucuan.
Komedi paslon cawapres ini tidak lepas dari hiruk pikuk kecemasan koalisi dan oposisi di injury time. Koalisi hanyut tak tentu arah ketika sebelumnya isu mengganti presiden di 2019 semata-mata bukan hanya karena pemerintahan Jokowi enggan adil terhadap kepentingan Ummat Islam, namun kasat mata Jokowi juga terlihat tidak nasionalis dan cenderung tidak agamis.
Krisis ideologi kasus per kasus yang mengganjal analisis koalisi bak banyaknya sisa-sisa makanan di sela-sela gigi yang rapuh. Guna mengantisipasi gangguan pada gigi pemerintah maka disiapkannya tim dokter ikan sembilan bernama UKP-PIP.
Koalisi pemerintah jadi gagap mental ketika krisis kepercayaan ini bermotif agama. Agar koalisi tidak terlihat sedang sakit parah, maka satu-satunya obat kuat berkomposisi suplemen dosis tinggi adalah menggandeng dokter sekaligis calon wapres yang harus mewakili ummat Islam (herbalis) terutama kalangan Nahdatul Ulama/NU.
Lagi-lagi koalisi tak percaya diri ketika pihak oposisi menjadi promotor Ijtima Ulama yang pasti mengharuskan cawapres religius.
Harap-harap cemas saat lagi cemas inilah yang mengakibatkan Jokowi menggunakan prerogatifnya memilih herbalis Ma'ruf Amin yang religius dan katanya mewakili ummat Islam di Indonesia meskipun banyak yang tidak setuju termasuk pihak koalisi nasionalis yang lain.
Salah satu alasan berat hati dipilihnya Ma'ruf Amin adalah endurance point/daya hidupnya (usia tuanya). Ma'ruf Amin diketahui lahir pada 11 Maret 1943 dan jika beliau tercatat sebagai calon wakil presiden saat ini maka beliau adalah satu-satunya cawapres tertua di Indonesia di 2019 (77 tahun) setelah sebelumnya Jusuf Kalla di 2014 (72 tahun).
Tak ada rotan akar pun jadi. Jokowi sepertinya tidak ada pilihan lain selain kakek-kakek yang masih fashionable di layar kamera. Sementara akar-akar lainnya yang sudah terlanjur merambat memanjat tebing terjal berebut rotan yang masih tegak, kini hanya mendulang kekecewaan.
Jangankan kubu oposisi yang merasa lucu keheranan dengan keputusan koalisi, sayap-sayap pendukung fanatik Jokowi pun turut prihatin, entah berduka merana atau kesal kecewa manut-manut tak berdaya.
Sudah kadung menjadi kenyataan bahwa koalisi dihadapkan pada situasi sulit, pelik dan rumit saat menentukan cawapresnya. Sebagian Ummat Islam sudah ngebet mengganti pemerintahan yang tak tidak berpihak kepada kepentingan Islam. Maka koalisi semakin simalakama memutuskan mengganti rotan dengan tusuk gigi, walaupun kecil masih punya gigi.