Pengarusutamaan gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi suatu dimensi terpadu dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengendalian kebijakan dan program pembangunan nasional. Hilangnya dimensi gender dalam kebijakan dan pengelolaan Covid-19 di Indonesia, menyebabkan mainstreaming gender terlupakan dalam struktur Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Ini dimulai dengan minimnya representasi perempuan dalam struktur kelembagaan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 sejak di tingkat nasional hingga daerah. Dengan kata lain, tampaknya keterwakilan perempuan tidak menjadi pertimbangan.
Di tingkat nasional, kita hanya dapat mengidentifikasi satu perempuan (Sri Mulyani, Menteri Ekonomi) yang berada dalam gugus sebagai Sekretaris Dewan Pengarah dan belakangan tidak terlihat lagi di gugus tugas ini. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pun tidak nampak masuk dalam gugus tugas Covid-19 di tingkat nasional Di tingkat daerah, ketua gugus tugas adalah kepala daerah yang jumlahnya sekitar 8% saja. Data ini mengacu pada data kepala daerah perempuan terpilih hasil pemilu 2015, 2017 dan 2018 (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2018). Angka ini jauh di bawah target kebijakan afirmasi (30 %) yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pemilu.
Hingga ke tingkat pemerintahan desa/kelurahan Relawan Covid-19 yang dibentuk berdasarkan surat Menteri Desa No 8/2020 tentang desa tanggap Covid-19 pun minim representasi perempuan, karena tidak “didesak” atau setidaknya “didorong” oleh spirit pengarusutamaan gender. Secara terbatas, perempuan yang dilibatkan dalam Relawan Covid-19 berasal dari PKK dan Kader Kesehatan (Posyandu), belum banyak melibatkan komunitas-komunitas perempuan lainnya di luar organisasi bentukan pemerintah desa.
Diskriminasi dan Resiko Kekerasan terhadap Perempuan
Seruan untuk di rumah saja melakukan pekerjaan dari rumah (Work from Home) serta diikuti dengan kebijakan belajar dari rumah (School from Home) menyebabkan perempuan menanggung multi beban. Tekanan sosial lebih kuat ditujukan kepada perempuan agar mampu menjalankan berbagai peran sebagai konsekuensi diberlakukannya kebijakan untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Sayangnya, hal ini tidak diikuti dengan narasi-narasi edukatif mendorong praktik gotong-royong seluruh anggota keluarga untuk melakukan pekerjaan domestic. Akibatnya, perempuan mengalami diskriminasi gender dengan beban berlapis, rentan stress dan sakit karena kelelahan, serta kekurangan nutrisi karena harus mendahulukan anak-anak dan suami mereka.
Situasi ekonomi selama pandemic ini juga menimbulkan kecemasan dan ketakutan pada masyarakat dan meningkatkan resiko kekerasan pada perempuan. Data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) Kementrian Pemberdayaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat bahwa per 2 Maret-25 April 2020 tercatat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa dengan total korban sebanyak 277 orang dan 368 kasus kekerasan yang dialami anak, dengan korban sebanyak 407 anak[2]. Sementara sampai saat ini belum ada ketentuan kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mekanisme layanan korban kekerasan selama pandemi berlangsung, dengan menyesuaikan kondisi pembatasan social. Kerentanan ini kurang disadari, tertutupi oleh narasi besar pandemic global Covid-19.
Hambatan Akses Partisipasi dan Kontrol Perempuan
Belum termasuk jumlah perempuan di berbagai komunitas dan dari berbagai wilayah di Indonesia yang secara sukarela berpartisipasi aktif mengambil peran dalam penanganan Covid-19. Mulai dari melakukan edukasi pencegahan (memberikan penyuluhan kepada warga), menggerakkan solidaritas memastikan tersedianya pangan keluarga paling terdampak, membuat dan membagikan alat-alat pelindung diri (masker), hingga pembagian benih produk pangan, dan lain sebagainya yang jumlahnya belum terdata.
Dalam berbagai kesempatan, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 meminta kepada perempuan agar mengimplementasikan segala kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19 di rumah. Misalnya, dengan memastikan praktik physical distancing di rumah dan menjaga imunitas tubuh anggota keluarga melalui penyediaan makanan sehat dan pola hidup bersih dan sehat (PHBS).
PUG : Dengan atau Tanpa Representasi Perempuan