(Bahan Presentasi Webinar INFIN, 6 Mei 2020)
Komitmen untuk PUG : Layak Diapresiasi
Patut diapresiasi bahwa pemerintah Indonesia sesungguhnya telah menunjukkan komitmen yang kuat melakukan Pengarusutamaan Gender (PUG) dengan catatan kronologis yang panjang, hingga dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender oleh Presiden Abdurahman Wahid.
Diikuti dengan berbagai kebijakan konkrit untuk menginstitusionalisasikan perspektif gender dalam perencanaan, implementasi, monitoring evaluasi dan penganggaran oleh Menteri Dalam Negeri dalam Permendagri No. 67 tahun 2011 tentang Perubahan Permendagri No. 15 tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, pada Pasal 4 Ayat 1 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban menyusun kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif gender. Diikuti dengan berbagai Perda PUG di daerah.
Upaya mempercepat pelaksanaan PUG kemudian dilakukan melalui uji coba pelaksanaan Anggaran Responsif Gender (ARG). Untuk pertama kalinya dalam RPJMN 2010-2014, kebijakan pengarusutamaan gender diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran, yang memuat kebijakan, indikator, dan sasaran yang terpilah gender dari berbagai kementerian dan lembaga, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait dalam penyusunannya.
Pun berbagai kebijakan untuk perlindungan perempuan dari tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, melalui UU No. 23 tahun 2004 tentang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang kemudian diturunkan dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan di seluruh propinsi telah tersedia. Juga diperkuat dengan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 460/813/SJ yang ditujukan kepada Gubernur dan bupati/wali kota seluruh Indonesia tentang kewajiban membuat program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Dengan demikian, setiap daerah telah memiliki kebijakan menjalankan mandate yang tertuang dalam Inpres No.9/2009.
Dalam Situasi Darurat Bencana : Pemerintan Abai
Kebijakan PUG dalam situasi darurat penanganan bencana juga sudah dikeluarkan melalui Peraturan Kepala (Perka) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 13 tahun 2014 tentang PUG dalam Penanganan bencana. Perka ini mengatur kewajiban untuk memperhatikan pengalaman perempuan dan anak perempuan pada saat bencana agar intervensi penanganan sesuai dengan kebutuhan mereka. Perka BNPB ini merupakan satu-satunya regulasi pemerintah yang tersedia saat ini, sebagai rujukan bagi Satuan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19.[1] Sayangnya tidak menjadi rujukan hukum dalam pembentukan SK Satgas Percepatan Penanganan Covid 19 No. 18 tahun 2020 yang versi revisinya dikeluarkan pada tanggal 29 April 2020.
Tidak digunakannya Perka No. 13 Tahun 2014 tentang PUG dalam kebencanaan sebagai landasan hukum dalam pembuatan kebijakan, program dan anggaran penanggulangan Covid-19 (perencanaan hingga impelementasi) menjadikan pemerintah “abai” dalam melakukan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan memberi celah dimana pemenuhan hak-hak perempuan, kelompok disabilitas, kelompok orientasi seksual yang berbeda dan kelompok minoritas lainnya akan terabaikan.
Minimnya Representasi Perempuan