Tadi siang kebetulan saya mendapatkan kuliah tentang teori stress. Dan entah kenapa, saya merasa Tuhan benar-benar romantis, saya seakan diajak bicara Tuhan saat itu.Saat saya memang sedang dilanda stress berat –kalau lebainya sih begitu. Beberapa pekan terakhir saya dikejar puluhan deadline –mulai dari editing Majalah Kampus, konsep acara diklat UKM, visiting program salah satu Out bound provider milik fakultas, Seminar Enterprenur, Leadership Camp se Jawa-Bali dan Open rekruitment salah satu komunitas di fakultas yang sedang sama-sama kami bangun. Dan yang luar biasa, saya menempati posisi yang strategis di semua kepanitian, Tuhan memang Maha Asyik.
Sepertinya Tuhan sangat rindu pada hambanya yang nakal ini, hingga semua amanah itu dititpkan padaku. Ini barangkali satu-satunya cara untuk membuatku kembali mengingat-Nya. Ya.. membuatku sibuk dan lelah. Sungguh tak ada istirahat yang paling menenangkan selain Sholat. Saya teringat pesan Murobbi saya kala itu “Bahwa sesungguhnya istirahatnya orang mukmin itu bukan tidur, melainkan Sholat”.
Dan benar, Tuhan ingin lebih banyak berbincang denganku, dua hari setelahnya aku jatuh sakit. Aktivitas lebih banyak kuhabiskan dengan tidur, karena memang tak banyak yang bisa ku kerjakan dalam kondisi seperti ini. Semua deadline kuundur karena tak memungkinkan bagiku mengerjakannya saat itu. Dua hari yang romantis dan sempurna membuatku kehilangan berat badan.
Semula teman-teman mengira bahwa aku sakit psikologis –stress. Iya memang, diagnosis awal aku mengalami stress ringan. Tapi diagnosis dokter jelas menegaskan bahwa amandelku bengkak karena salah makan. Aku setuju keduanya –daya tahan tubuh bisa menurun karena stress, stress juga memicu pembentukan hormon kortisol semakin meingkat, akibatnya tubuh akan mengalami mmunosupresi alias mudah terkena infeksi. Sebelum aku jatuh sakit aku memang sempat minum air es satu gelas –heeiii hanya satu gelas. Namun keesokan harinya efeknya luar biasa, badanku demam tinggi dan tenggorokanmu mulai meradang. Aku sempat kaget juga dengan reaksi tubuhku yang frontal. Tak biasanya mereka sefrontal itu –ya walaupun biasanya kumat tak separah ini lah. Mungkin kondisi fisikku kala itu memang lemah, pertahanan diriku juga mengendur. Makan mulai tak selera karena mungkin banyak yang kupikirkan saat itu.
Dan tahukah kamu kawan. Lagi-lagi Tuhan ingin bercanda denganku. Entah ini kebetulan atau apa –tapi saya tak pernah percaya kata kebetulan, saya percaya dan benar-benar yakin bahwa setiap helai daun yang jatuh di bumi ini telah tertulis rapi dalam skenario-Nya, pun kejaidan hari ini, jelas ini cara Tuhan menyapa ku.
Hari ini aku seperti ditertawakan teman satu kelas, karena jelas dalam diagnosis yang dilakukan presentator kala itu, aku menjadi minoritas yang didiagnosis mengalami stress –ya walaupun ringan. Dan memang benar. Tapi saya rasa bukan ini yang hendak Tuhan tunjukkan pada saya.
Lantas apa? Tuhan ingin bermain-main dengan saya? Dengan menjadikan saya bahan leluconsatu kelas? Ah… saya rasa Tuhan tak sekejam itu padaku. Dan benar, memang Tuhan Maha Asyik. Pada menit kelima puluh saya mendapatkan jawabannya.
Hebat juga presentator sesi ini, ia mampu membuatku mendengarkan walau kepalaku sedikit pening saat itu. Dan aku benar-benar menyimak kemudian –walau dengan kepala yang diletakkan di atas meja. Saya benar-benar tertegun karena yang mereka bicarakan saat itu adalah ‘apa yang saya butuhkan’. Ah… Tuhan memang Romantis.
Begini sekilas crita presentator tadi. Kata mereka, Stress adalah gangguan yang terjadi pada diri ketika kita gagal dalam beradaptsi dengan perubahan lingkungan, bisa jadi tantangan, tuntutan, kendala atau bahkan kesempatan. Penyebab stress bisa beragam, misalnya perubahan lingkungan yang ekstrem. Ah… sepertinya benar, saya memang belum berhasil beradaptasi dengan perubahan jadwal dan tanggung jawab baru saya.
Penyebab kedua bisa jadi karena akulturasi budaya, misalnya orang aceh yang kuliah di jawa, karena belum terbiasa dengan budaya jawa, bahasa jawa, dan tempat-tempat di jawa, mereka bisa saja stress karena merasa hidup terasing di planet orang.
Gangguan fisik juga bisa membuat orang stress, seperti penderita HIV/AIDS, stressor mereka tinggi dan mereka sangat rawan untuk depresi, atau orang-orang yang menderita kanker, kelumpuhan di usia muda yang divonis dokter tidak mungkin akan bisa sembuh atau pulih, kesulitan adaptasi dan penerimaan diri mereka tidak bisa kita bilang enteng. Mereka luar biasa jika mereka tetap bisa tersenyum selebar kita hari ini.
Dan Faktor terakhir yang sangat menentukan adalah faktor kepribadian. Dimana faktor ini menjadi variabel yang paling penting dalam mengatasi stress tersebut. Kualitas pribadi yang baik –seperti Self Regulasi, Self efikasi, dkk sangat menentukan gejolak jiwa seseorang. Semakin baik kontrol diri seseorang jelas iya akan semakin tahan terhadap stressor.
Kawan, mari kita perbaiki kualitas diri untuk mengatasi ini. Jangan takut dengan tantangan, tak perlu cemas dengan kesempatan, kerjakan saja tuntutan dan respon saja hambatan secara wajar. Bukankah seharusnya kita bisa memantul lebih tinggi jika kita dilempar semakin keras?
Ah... aku mengerti Tuhan. Terima kasih Kau izinkan aku untuk memahami ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H