Zaman dahulu, ketika difonis gila, maka siap-siap anda kehilangan nyawa. Zaman sekarang, jika anda difonis “gila” maka siap-siap diasingkan dunia.
Zaman dulu, jaaauuuuuh sebelum nenek saya lahir. Tepatnya pada sekitar tahun1484 M, orang-orang yang dihukumi gila akan dieksekusi saat itu juga. Zaman dulu, orang-orang memandang hilangnya nalar merupakan indikasi bahwa orang tersebut kerasukan setan. Orang yang mengalami sakit jiwa dianggap sebagai tukang sihir. Bahkan ketika anda sakit hati dengan seseorang anda dapat dengan mudah membunuhnya, dengan cara menuduhnya gila atau kerasukan roh jahat, maka dengan sangat mudah ia akan dieksekusi oleh pihak gereja pada masa itu. Luar biasa ngawur ya mereka.
Lambat laun rasionalitas dan fakta mulai angkat bicara, sebagian tertuduh dalam kenyataannya tidak mengindap penyakit jiwa. Pengakuan yang disebut delusi rata-rata keluar karena siksaan agar mereka mengakui. Singkat cerita pada tahun-tahun selanjutnya otoritas sipil mengambil alih peran gereja dalam pengadilan “kegilaan”, pada masa itu akhirnya kegilaan tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan dengan roh jahat. Tapi lebih menekankan pada orientasi, ingatan, kecerdasan, kebiasaan dan kehidupan sehari-hari.
Demikian dunia telah mencatat sejarah peradabannya, pun sejarah kelamnya. Mari kita sebut catatan berharga ini sebagai sejarah. Saya kira sejarah dicatat bukan untuk dihafal tahun dan pelakunya, tapi lebih untuk dikaji dan dicermati, jauh lebih penting lagi adalah bagaimana sejarah mampu memberikan kita inspirasi dan pelajaran berharga darinya.
Sejarah perkembangan psikologi tidak bisa dibilang singkat, apalagi sejarah perkembangan fokus kajiannya “manusia”. Manusia ada sejak ribuan tahun yang lalu, begitu pula masalahnya. Manusia dilahirkan untukberhadapan dengan masalah. Jadi masalah-masalah manusia –mulai dari fisik hingga psikis, sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu.
Mungkin bedanya sekarang jauh lebih berkembang –baik cara pengobatannya, pun penyakitnya. Ilmu kedokteran sudah sangat berkembangan dengan begitu pesatnya, masyarakat pun sangat menerima. Beda sekali bukan dengan psikologi?
Masyarakat masih sangat primitif dengan psikologi. Akibatnya orang-orang depresi diberi label gila, dianggap kesurupan dan lain sebagainya. Dipasung dan diasingkan, seolah-olah mereka adalah sampah masyarakat dan aib keluarga. Miris sekali rasanya melihat kenyataan ini. lebih sulit lagi saya menerima kenyataan bahwa banyak sekali orang-orang gila yang berkeliaran disekitar kita. Dari mana mereka? Apakah mereka adalah orang-orang yang dibuang dari rumah karena keluarga tak sanggup menanggung “aib”, atau mereka adalah pasien RSJ yang kabur, atau justru pasien RSJ yang sengaja dibuang karena keluarga tak sanggup lagi membiayai?
Lalu kemana para psikolog ini? Apa perannya? Ngapain aja mereka? Melulu ngurusin peace psycholoy, tapi hal-hal seperti ini mereka luput? Miris sekali rasanya menerima kenyataan bahwa tidak banyak lulusan psikologi yang kompeten menangani kasus semacam ini, buat apa kemudian Rumah Sakit dibangun jika mengurusi pasien saja tidak bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H