Agustus 2014, dinyatakan tidak lulus skripsi mahasiswa ini nyatakan hendak bunuh diri. “rasanya ingin mati saja saya bu” tuturnya pada salah seorang terapis yang juga dosennya kala itu. Frustasi karena dinyatakan tidak lulus dan merasa sakit hati pada salah seorang penguji membuatnya hilang arah dan patah semangat.Saya rasa kasus seperti ini bukan hanya satu atau dua, tapi puluhan. Bukan hanya ada tapi banyak. Bukan hanya pernah tapi sangat sering kita jumpai. Beberapa waktu lalu misalnya, kita digegerkan oleh berita dari kampus tetangga yang namanya telah menterang di kancah dunia, berita yang menuturkan bahwa beberapa mahasiswanya hendak menjual ginjal untuk memenuhi tagihan SPP. Atau beberapa kasus pelajar SMA yang depresi dan mencoba untuk bunuh diri saat tahu dirinya tidak lulus UAN. Miris sekali ya pendidikan di Indonesia? Atau bagaimana jika pernyataannya kemudian saya ubah, miris sekali ya pelajar di Indonesia?
Siapa yang salah? Entahlah, saya tak ingin menyalahkan siapapun di sini. Saya juga tak ingin berbantah-bantahan siapa yang harusnya bertanggung jawab. Bagaimana jika kita sepakati “Kita yang harusnya bergerak, berfikir dan mencari solusi”. Kasus-kasus yang saya uraikan di atas akan sangat banyak kita jumpai nantinya. Maka dari itu saya ingin mengajak anda untuk tahu dan mari kita kita prevensi bersama.
Kasus-kasus seperti ini akan anda temui pada orang-orang yang sering menyalahkan keadaan dan orang lain. Mereka tidak berfokus pada masalah yang mereka dihadapi, namun pada problem yang telah terjadi, mereka sibuk mengutuk diri, menyalahkan keadaan yang seharusnya bisa lebih baik lagi, and so on and so far.
Seorang terapis dari Cleveland, Ohio –William Glasser, menyebutkan bahwa perilaku-perilaku tidak tepat akan mengantarkan pada pemikiran yang tidak tepat, kemudian pemikiran tidak tepat ini akan mengantarkan pada feeling yang tidak tepat pula, yang ending-nya akan membawa pada kondisi psikis yang tidak sehat. Dan untuk kasus ini saya sangat setuju dengan beliau. Doing Right for The Right Result, saya kira adalah konsep yang universal yang bisa kita terima bersama.
William Glasser adalah seorang terapis yang menawarkan pendekatan Reality Terapi. Pendekatan ini bersifat konkrit, berfokus pada klien, klien dibimbing untuk doing right dengan cara belajar untuk fokus pada perilaku saat ini –apa yang bisa dilakukan saat ini, dan tidak menyalahkan masa lalu, keadaan ataupun orang lain.
Lagi-lagi saya sangat setuju dengan beliau terkait apa yang harus dilakukan pada klien. Beliau menawarkan konsep WDEP (Want, Doing & Direction, Evaluation, Planning), Mari kita bahas ini lebih lanjut. Jika anda menemui saudara atau teman anda yang mengalami hal serupa dengan kasus di atas, hal pertama yang harus anda lakukan adalah menerima dirinya dengan terbuka lalu dengarkan kisahnya. Tanyakan apa yang terjadi dan bila perlu cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setelah ia puas bercerita, kemudian tanyakan apa yang ia mau (wants) –tanyakan berulang-ulang dan yakinkan apa yang sebenarnya dia inginkan, karena banyak orang yang sebenarnya tidak benar-benar memahami apa yang mereka mau.
Kemudian arahkan pada apa yang seharusnya dilakukakan (Doing & Direction) –hanya arahkan dan biarkan mereka menemukan cara yang benar dengan sendirinya. Jika mahasiswa dalam kasus yang saya sebutkan di atas ingin lulus, misalnya, maka doing-nya tentu mengulang proses pembuatan skripsi, bukan dengan mengganti pembimbing atau bunuh diri.
Selanjutnya evaluasi itu semua bersama, mulai dari apakah harapan itu realistis untuk dicapai, apakah keinginan itu sudah sesuai dengan nilai hidup yang ia pegang dan apakah harapan-harapan itu tidak merugikan orang lain. Pun kita perlu mengevaluasi Doing-nya, apakah itu sudah tepat dan realistis. Poin akhirnya adalah planning, tuntun mereka untuk merumuskan planning yang tepat dan terarah. Bantu mereka membuat rencana tindakan yang pasti dan realistis.
Jika sudah demikian, dampingi mereka melewati fase pemulihan ini, pastikan mereka Doing RiGHT. Selamat mencoba kawan. semoga bermanfaat. ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H