Mohon tunggu...
Lely Nur Azizah
Lely Nur Azizah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa psikologi semester akhir

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pak Menteri, Beri Kami Solusi!

17 Desember 2014   17:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:08 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hingga hari ini sistem pendidikan di Indonesia telah dirubah belasan kali, mulai dari kurikulum “Rencana Pelajaran” tahun 1947 sampai kurikulum 2013 yang bersifat tematik. Mulai dari berbasis kemandirian siswa hingga berbasis karakter. Mulai dari menggali potensi bakat, hingga mengembangkan model budi pekerti. Tapi dari kesemuanya, kita justru tidak merasakan perubahan arah pendidikan yang lebih baik. Dari puluhan tahun lalu hingga hari ini, masalah pendidikan bukan justru menjadi semakin sederhana tetapi malah menjadi semakin kompleks.

Jika dulu masalah pendidikan berfokus pada infrasruktur yang tidak merata, susahnya akses pendidikan bagi kalangan menenagah ke bawah, saat ini masalah meluas pada aspek konten atau isi dari pendidikan, bagaimana pendidikan itu di jalankan, dan bagaimana kualitas pendidikan itu sendiri. Bagaimana out put yang dihasilkan tidak memberikan sumbangsih yang besar bagi kemajuan bangsa. Sektor pendidikan telah menyedot triliunan anggaran negara untuk hal yang sebenarnya justru ‘merusak’ moral bangsa.

Out put dari sistem pendiikan (kurikulum, guru dan perangkat pengajaran) saat ini adalah banyak anak-anak berandalan, hamil di luar nikah, ngedrug, siswa yang depresi dan bunuh diri karena tuntutan ‘sistem pendidikan’.

Banyak sekolah di Indonesia kita temui melakukan praktek-praktek yang sebenarnya perlu kita kaji ulang, seperti sistem evaluasi yang akhirmya mendorong siswa untuk berbuat curang dan mendidik mereka untuk belajar berkorupsi sejak dini. Juga sistem penetapan batas kelulusan dengan angka yang dipaksa-paksakan mengikuti standart nasional, bukan dengan kemampuan siswa, lebih parah siswa dituntut untuk menguasai semua bidang ilmu, jika tidak menguasai tidak dapat naik kelas dan di cap sebagai anak yang bodoh. Sebuah stigma yang tidak menyenangkan dan tidak mendidik. Stigma ini justru memberikan sinyal pada otak peserta didik untuk membentuk skema negatif terhadap dirinya sendiri, akibatnya siswa menjadi tidak percaya diri dan enggan untuk berkembang.

Sistem evaluasi pada tingkat nasional pun tidak kalah memberikan sumbangsih pada kehancuran moral bangsa. UAN yang didesain sedemikian rupa, dengan berbagai evaluasi dan pembaharuan yang telah dilakukan, tidak juga memberikan solusi yang diharapkan. Kasus-kasus bunuh diri dan depresi selalu mewarnai agenda terbesar tahunan pada dunia pendidikan kita, UAN selalu menjadi momok bagi semua kalangan, mulai dari siswa, guru, orang tua dan bahkan kepala sekolah. Siswa dituntut untuk lulus dan menguasai banyak mata pelajaran –baik ia suka atau tidak, guru dituntut untuk memutar otak bagaimana mengawal semua siswanya lulus –mulai dari siswa yang memang benar-benar mampu hingga siswa yang untuk mendapatkan angka lima saja susah sekali. Orang tua ikut kerepotan mengikutkan anaknya ke berbagai bimbingan belajar karena takut dan malu jika anaknya tidak lulus. Kepala sekolah juga ikut repot karena ditekan pimpinan untuk menjaga ‘kualitas’ sekolah dengan menciptakan lulusan dengan nilai UAN yang memukau.

Hingga hari ini saya tetap tidak setuju dengan UAN. Beberapa waktu lalu saya sempat berfikir keras dan mencoba mencari hal positif dari UAN, tapi percuma saya tidak menemukannya. Saya percaya bahwa bapak dan ibu-ibu yang saya hormati yang sedang berada jauh di senayan saya bukanlah orang yang tidak paham akan dunia pendidikan, saya percaya beliau-beliau adalah akademisi dan praktisi yang mumpuni dalam bidangnya, namun lagi-lagi kebijakan yang beliau buat selalu membuat saya memutar otak untuk memahami ada yang sebenarnya sedang mereka pertimbangkan.

Kritik keras terhadap UAN justru disikapi dengan memberikan kode sebanyak sejumlah siswa yang ada dalam ruangan, dengan memberikan pengawas dari dosen-dosen universitas, apakah itu berhasil?

Jelas berhasil memberikan tekanan pada siswa, hingga tahun lalu salah seorang pelajar asal Surabaya nekat memberikan surat terbuka pada pak mentri. Apakah ini mengurangi kecurangan? Siapa yang berani menjamin? Di beberapa sekolah, siswa dan guru justru saling membantu dalam hal ini. Saya tidak menyalahkan mereka, karena bagi mereka ini TUNTUTAN, karena mereka terlanjur terbelenggu sistem.

Lantas bisa apa saya, saya hanya mahasiswa biasa saja yang hanya bisa mengeryitkan dahi dan menangis stragis melihat adik-adik saya terdidik oleh sistem pendidikan yang katanya mencerdaskan bangsa.

Saya adalah pengajar, dan saya selalu menangis ketika melihat adik-adik saya harus diperkosa dengan angka-angka, dengan hafalan, dengan tuntutan harus mendapat nilai baik, harus lulus? apakah itu ada korelasinya dengan kehidupan mereka kelak ketika dewasa? Saya rasa anda tahu jawabannya.

Pendidikan yang mendidik adalah pendidikan yang mendewasakan, pendidikan yang memandirikan, pendidikan yang memerdekaan dan memuliakan. Saya rindu kisah-kisah para ulama dan para ilmuan klasik yang begitu mencintai ilmu pengetahuan, dimana mereka mengerjar dan benar-benar menimba ilmu, dimana mereka rela merantau jauh untuk ‘sekedar’ berguru. Bukan mencari selembar ijazah atau mencari gelar. Tidak ada kata stress saat menimba ilmu, karena mereka mengejar sesuatu yang mereka cintai.

Saya rindu atmosfer keilmuan dimana siswa datang karena haus ilmu bukan karena rutinitas atau disuruh ibu. Saya rindu pendidikan yang membebaskan dan memerdekakan, saya rindu dimana semua potensi dilihat sebagai suatu prestasi. Saya rindu masa dimana semua anak dipandang sebagai permata yang memiliki pancaran sinar yang tak akan pernah sama. Saya rindu masa dimana orang tua tidak lagi menuntut kamu harus pandai matematika, kamu harus jadi dokter, kamu harus jadi insinyur, tapi saya ingin mendengar ini dari lisan-lisan mulia mereka bahwa “Lakukanlah apapun hal yang kau suka dan membuatmu bahagia nak, jika kau suka menulis? lakukanlah dan jadilah penulis, kau suka musik? tekunilah dan jadilah musisi, kau suka menendang? latihlah dan jadilah pemain sepak bola. Kau tak suka matematika? Itu menyiksamu? Tak masalah nak, kau tak harus menguasainya, kau hanya harus berdami dengannya.”

Saya benar-benar rindu masa dimana prestasi diukur dari potensi-potensi yang mereka punya, saya rindu dimana anak dibiarkan untuk mengeksplor semua hal yang ingin ia tahu, bukan sibuk diikutkan les ini itu. Saya rindu dimana anak disayang dan dijaga hak-hak dan tugas perkembangannya, bukan dijadikan pemuas nafsu ambisi orang tua, atau bahkan ambisi negara yang berbangga dengan standar nilai kelulusan yang tinggi tapi nyatanya nol besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun