Mohon tunggu...
Leli Nurohmah
Leli Nurohmah Mohon Tunggu... -

Sedang mendalami isu gender dan perdamaian. Untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membincang Seksualitas = Perempuan Objek

22 Februari 2013   07:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:54 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendiskusikan persoalan seksual selama ini memang nampak masih sangat tabu. Saking tabunya, bagi orang dewasa sekalipun ketika menghadapi persoalan seksual enggan membuka ruang pembicaraan mengenai hal ini, bertanya, mengkonsultasikannya, menyimpannya atau mencari solusi sendiri. Teknologi yang sangat terbuka dan mudah dijangkau memungkinkan siapapun mencari solusi atas persoalan seksualitas mereka lewat dunia maya. Ruang konsultasi lewat dunia maya untuk persoalan seksual memang menjadi lebih menjaga privacy si penanya.

Tidak hanya media internet, Televisi masih menjadi komoditi yang strategis untuk membicarakan seksualitas. Untuk acara yang membincang soal isu yang satu ini, saya berikan apresiasi yang baik untuk acara bertajuk “saxophone” dari salah satu media TV swasta. Berbagai isu yang dipebincangkan sangatlah actual dengan dibahas secara ringan dan mudah difahami, perspektif psikologis dari narasumber juga cukup membuat mata kita terbuka dan memahami mengapa persoalan tersebut terjadi. Pertanyaan kritis dari host juga menambah kekayaan informasi dari acara ini khususnya dari cara pandang perempuan.

Sayangnya mata saya sebagai penonton perempuan, seringkali terganggu oleh sang kameramen yang selalu mengarahkan pandangan penonton menuju satu area-area khusus tertentu dari para narasumber. Saya bisa memahami karena acara ini ditujukan untuk kelompok dewasa. Tapi rasanya ada yang kemudian mengaburkan tema yang cukup bagus untuk didiskusikan dan penting untuk diketahui oleh masyarakat, tidak hanya laki-laki malah lebih penting untuk perempuan. Tema yang didiskusikan seolah hanyalah menjadi pelengkap dari potongan-potongan tubuh perempuan yang berani membincang persoalan seksual secara terbuka dengan menonjolkan keindahan bagian-bagian tubuh perempuan.

Media dan objektivitas Perempuan

Saya bisa memahami bahwa media memang masih menjadi alat yang efeketif untuk menunjukkan perspektif para pemilik modal, dari satu kasus saja kita sudah bisa melihat berada diperspektif yang mana para pemilik modal ini berdiri. Serta untuk siapa acara ini diproyeksikan? Dengan melihat 15 menit pertama saja penonton dapat mendefinisikan kalangan dewasa yang dibidik adalah laki-laki. Sehingga saya dengan mudah bisa menyimpulkan bahwa seksualitas (yang difahami pemilik media) sebagai hanya milik laki-laki.

Semua media, rasanya masih memiliki karakter yang sama mengenai hal ini, perspektif yang digunakan masih menampilkan gambaran bahwa perempuan adalah objek segala jenis pemuasan laki-laki, terutama pemuasan seksual. Lihat saja dari ciri khas iklan-iklan yang ada dan mereka sajikan untuk kita, semua kategori masih menampilkan citra bahwa kecantikan perempuan ujungnya adalah untuk dipersembahkan kepada laki-laki. Kepuasan muncul bukan hanya pada laki-laki yang misalnya senang membelai kulit perempuan yang halus mulus, tetapi perempuan pun merasa dihargai, diterima dan dibutuhkan oleh laki-laki karena berhasil membuat laki-laki bahagia atas kulit halus putih mulusnya perempuan.

Seksualitas memang masih dihadapkan pada realitas cara pandang dan perspektif laki-laki. Dalam banyak hal perempuan ditempatkan sebagai objek seks yang pasif dan objek pelengkap penderita. Padahal perempuan sebagai manusia sama halnya dengan laki-laki secara fitrah mereka pun dibekali alat-alat, rasa dan potensi untuk menikmati seksualitasnya. Sayangnyka tidak banyak ruang yang diberikan bagi perempuan untuk mengekpresikan seksualitas mereka. Seolah-olah kehadiran perempuan hanyalah untuk melayani hasrat seksualitasnya laki-laki semata.

Oleh karenanya, sebuah program yang sebenarnya mengandung pendidikan seksualitas yang positif pun rasanya masih menganggap bahwa acara mereka hanya dikonsumsi khusus untuk laki-laki dewasa. Oleh karenanya tidak lengkap dan belum dikatakan sukses sepertinya bila acara ini disajikan tanpa bumbu-bumbu yang kira-kira bisa membawa penonton (yang laki-laki) meningkat hasratnya.

Lalu dimana penonton perempuan? Sepertinya juga tidak memiliki tempat yang memadai sekedar untuk mendapatkan informasi yang positif dan mencerahkan soal seksualitas. Ayo lah kita bangun perspektif yang berpihak. Bila sebuah acara diproyeksikan untuk semua jenis kelamin, saya bisa menjamin cara pengambilan gambar sang kameramen mungkin tidak sedekat dan sedetil itu menangkap tubuh perempuan.

Walaupun saya harus masih menerima kenyataan, dalam masyarakat yang patriarkhi, sepanjang hidup perempuan memang seolah harus merelakan diri dan tubuhnya ditentukan oleh orang-orang disekitarnya. Sejak lahir ia bahkan ia telah diikat oleh fatwa untuk menurunkan hasrat seksualnya yang “katanya” dearajatnya 9 lewat sunat perempuan.

Menginjak usia lebih besar banyak anak perempuan tidak lagi mendapatkan otoritas dan hak atas tubuhnya. Terlebih dalam banyak tradisi seringkali orang tua menganggap perempuan sebagai asset dan harta miliknya. Tidak mengherankan jika banyak orang tua merasa memiliki otoritas yang tinggi untuk mendapatkan keuntungan dari tubuh anak perempuannya. Kasus pernikahan anak, penjualan anak adalah bagian dari realitas yang masih tinggi di Indonesia. Bahkan akhir-akhir ini banyak kasus perkosaan terhadap yang dilakukan oleh orang tua mereka sendiri. Rumah sebagai tempat aman bagi perempuan dan anak ternyata tidaklah selalu benar.Kasus pernikahan Aceng rasanya juga bisa dilihat bagaimana anak perempuan bisa dibeli dengan mudah dan kemudian dicampakkan dengan hanya lewat pesan pendek.

Perjuangan masih panjang ya untuk memperjuangkan tayangan yang berpihak pada perempuan, saya masih yakin bahwa pendidikan mengenai seksualitas memang penting untuk disampaikan secara terbuka dan dikemas lebih intelek agar tidak lagi dianggap tabu. Namun bila disajikan dengan cara menjadikan perempuan sebagai objek rasanya juga tidak begitu adil karena tetap menampilkan perempuan hanya dari tubuh dan kemolekannya saja, menapikan kualitas intelektualitas dan kualitas yang dibicarakan oleh si perempuan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun