Mohon tunggu...
Leli Nurohmah
Leli Nurohmah Mohon Tunggu... -

Sedang mendalami isu gender dan perdamaian. Untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Koruptor ataukah Fakir Miskin dan Anak Terlantar yang dipelihara Negara

26 November 2012   07:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:39 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Memilih menggunakan moda transportasi public di Jakarta membuat saya harus bertemu banyak hal, kehidupan Jakarta yang keras dan tidak berpihak pada kelompok kecil adalah realitas yang harus saya lihat sehari-hari. Kadang kala saya bertemu laki-laki muda berceramah dengan nada keras untuk membuat orang takut dan kemudian menyisihkan uang seribu rupiah untuknya, pengamentanpa suara karena ia berperan seperti orang gagu dengan tangan dan kaki kaku, disaat lain dia lupa ataukah sudah sembuh karena sudah bisa mengeluarkan suara. Namun, tak jarang juga laki-laki dengan gitar tua dan suara merdunya menemani perjalanan menuju Pasar Santa, Melewati Jalur Neraka mampang seperti biasa, saya tak sulit mengeluarkan receh2 yang numpuk sisa kembalian dari Trans Jakarta.

Tapi pagi ini saya dibuat marah, geram, hampir berlinang, bercampur aduk jadi satu. Seorang Ibu setengah baya memberhentikan Kopaja 620 membawa bayi mungkin usianya nampaknya belum sampai 10 hari. Si Ibu sendiri tampak masih lusuh dan kuyu dengan muka dihiasi beberapa luka yang mulai mengering, Dia Nampak lelah mungkin karena ikut begadang dengan si bayi semalaman, atau memang belum pulih pasca persalinannya. Sambil menggendong bayi mungilnya ditangan kiri ia menggenggam botol susu formula 60cc sementara tangan kanannya memegang plastic bekas pewangi pakaian. Saya pikir si ibu ini hendak duduk dan menuju Blok M. ternyata dia berdiri di tengah dan mulai bernyanyi. Lagu sang Raja Dangdut “Darah Muda” pun hanya dinyanyikan 2 bait saja dengan ritme dan syair yang kadang tak jelas dan tak di mengerti. Tapi tangisan si kecil rasanya sudah cukup bagi si ibu untuk meminta belas kasihan para penumpang di Kopaja.

Saya geram seperti juga seorang ibu di belakang yang sempat menyampaikan unek-uneknya “Aduh Ibu kasian anaknya?” Saya hanya menatap dan mengamati semua hal tentang perempuan ini dan membanyangkan apa yang terjadi dengan si ibu ini hingga ia harus turun kejalanan, meminta belas kasihan orang-orang. Bisa jadi ia memang tidak punya lagi uang untuk makan siang hari ini dan membuatnya harus turun ke jalanan, atau bisa jadi dia korban kekerasan dari pasangannya yang tidak bertanggung jawab padahal ia dan anaknya juga harus makan, bisa jadi suaminya sakit atau tak tau ada dimana? Bisa jadi, bisa jadi ya bisa saja semuanya memang terjadi padanya yang membuatnya tidak memiliki banyak pilihan kecali turun ke jalanan meminta belas kasihan orang-orang.

Tapi kenapa si kecil ini yang harus menjadi korban, pertama kali saya lihat adalah botol susunya. Susu formula jelas bukan makanan pilihan yang bijak untuk si kecil ini, ia hanya butuh ASI. Dengan kondisi ekonomi sepertinya rasanya ASI akan lebih ekonomis disbanding susu formula. Kekita saya menyadari dia naik mobil untuk ngamen, hati saya lebih sakit lagi, kenapa bayi ini harus ikut? Ketika saya mendengar suaranya yang tidak bertalenta saya menyadari dia menggunakan bayi ini untuk menarik perhatian dan meminta belas kasihan para penumpang. Tapi adilkah untuk si bayi kecil ini? Ingin rasanya saya merebut dan memeluk bayi kecil ini dan menyimpannya dipelukan dan diruang yang aman tanpa polusi. Bayi sekecil ini sudah terpapar berbagai macam polusi jahat dari debu dan asap kendaraan dijalanan. Belum lagi kepalanya terlihat memar dan merah karena si ibu kurang berhati-hati saat naik dan turun KOPAJA.

Si Kecil ini tidak pernah memilih akan dilahirkan oleh siapa, dia hanya menjalani takdirnya sekarang. Bahkan hingga saya menulis tulisan ini kerongkongan saya rasanya masih sesak mengingatnya. Saya tidak bisa membayangkan akan jadi apa kelak dia besar dan dewasa.

Saya sebenarnya telah menghukum si Ibu ini secara social lewat tatapan mata saya yang tidak bersahabat. Padahal saya juga tidak banyak berbuat kecuali melewati moment ini berlalu begitu saja dan menyimpannya sebagai unek-unek dalam hati. Mungkin saja bila saya berada di posisinya dan tidak memiliki banyak pilihan untuk memenuhi perut lapar dan kebutuhan harian, turun kejalanan adalah cara mudah dan cepat untuk mengatasi persoalan.

Tapi dimanakah peran Negara dalam kondisi seperti ini? Saya masih mengingat salah satu pasal dalam Undang-undang Dasar 1945 pasa 34 ayat 1 bahwa “Fakir Miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Tapi bagaimana regulasinya? Bagaimana pelaksanaan Undang-undang ini. Kalau sementara ini pemerintahan kita sudah digerogoti tikus-tikus yang siap menggerogoti uang belanja Negara. Hingga tidak ada lagi yang tersisa untuk mereka para fakir miskin.

Kemarahan saya semakin menumpuk bila mengingat tradisi korupsi dan markup yang sudah mendarah daging di pemerintahan kita. Mengingat pemberitaan Kompas minggu lalu tentang biaya scan yang dikritisi Ahok mencapai 350 juta yang sebenarnya biaya ini bisa diperuntukkan lebih untuk biaya-biaya social kelompok miskin.

Diantara rasa marah, rasa ketidakpercayaan juga ketidakberdayaan sebenarnya saya masih percaya, masih ada pemimpin yang berwibawa yang hadir untuk rakyatnya. Bukan budak dari para koruptor yang berjamaah, serakah dan hanya mementingkan memperkaya diri sendiri, partai dan keluarganya saja.

Semoga masih ada pemimpin yang memiliki hati nurani, seperti Umar bin Khatab yang datang keluar masuk kampung untuk melihat kondisi rakyatnya. Yang menangis saat mandapati salah satu rakyatnya tak bisa makan dan hanya memasak batu untuk anak-anak mereka untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa lapar. Umar tidak hanya prihatin tapi dia membawakan sendiri memikul gandum dan menyerahkan pada perempuan dengan anak-anak yang kelaparan.

Saya merindu pemimpin seperti ini, Tapi apakah masih ada pemimpin seperti Umar yang merelakan tidur nyenyaknya hilang karena berusaha untuk melihat, mencari tahu dan berhadapan secara langsung dengan penderitaan rakyatnya? Dan bukannya hanya sekedar mendengar info dan laporan dari anak buahnya tanpa kritis mendalami kembali berapa biaya yang di markup dan di korup cukup dengan laporan para pembisik yang hanya sekedar memuaskan hati mereka sendiri apalagi kalau bukan laporan ABS (Asal Bapak Senang).

Mungkinkah rinduku menjadi nyata???

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun