Selamat berjuang bagi Demokrat yang berlagak bersih dan jujur di pemerintahan Pak Beye. Sebagaimana lagak itu ibarat topeng yang mengimpit wajah (B. Herry Priyono-Kompas, Senin 23 Mei 2011), begitu pula lagak pemerintahan jujur dan bersih adalah topeng pencitraan kekuasaan ologarki yang memelihara KKN dan membiarkan ketidakadilan di NKRI ini.
Bab kedua Demokrat kecolongan 2014 terletak pada konspirasi Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Nazaruddin rupanya mulai merajut dengan pemberian dana kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar sebelum menyuapi Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) WafidMuharam untuk mendapatkan proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang.
Sedangkan bab pertama Demokrat kecolongan 2014 terjadi saat pemerintahan Pak Beye “meneror” rakyat Yogya dengan mempertanyakan keistimewaan Yogya dengan motif politis “memenjarakan” Sultan Hamengkubuwono X.
Saya berpendapat bahwa “teror” keistimewaan Yogya dan konspirasi Nazaruddin akan pelan tapi pasti membenamkan upaya-upaya pencitraan Partai Demokrat di berbagai bidang.Sebab, selama tujuh tahun Demokrat sebagai partai berkuasa sekaligus “mercu suar” kompetisi dengan partai-partai politik lain di Indonesia. Ketika “mercu suar” itu tidak menjamin eksistensi kearifan lokal DI Yogya di NKRI, maka partai-partai politik baru punya harapan pada rakyat yang kritis. “Mercu suar” itu pun makin merusak nilai-nilai sistem demokrasi NKRI ketika pemerintahan SBY “mencabut” Pancasila dari sistem pendidikan rakyat Indonesia.
Sedangkan konspirasi Nazaruddin mudah dibaca sebagai bahaya laten oligarki kekuatan politik-birokrasi-swasta dari Demokrat yang sedang berkuasa. Konspirasi itu berdampak sistematis dari daerah ke pusat dan arus baliknya dari pusat ke daerah.
Perilaku Demokrat
Sejumlah penelitian Harian KOMPAS merekam pengakuan penuh penyesalan konstituen bahwa pemerintahan Pak Beye membuat rakyat gerah. Pemerintahan Pak Beye mengabaikan kenyataan ketidakpuasan masyarakat dalam berbagai bidang. Banyak kader-kader Demokrat berjalan sendiri-sendiri dengan asumsi Demokrat bahwa ”para tokoh agama terlalu lemah untuk kritik kami dan kami terlalu kuat untuk tersentuh hukum.”Perilaku ini sangat menonjol pada Dipo Alam dan Ruhut Sitompul.
Yang menjadi korban dari perilaku Demokrat adalah para simpatisan dan konstituen yang bekerja keras dari semua kelompok masyarakat, yang matanya terbuka tetapi tidak berdaya untuk bicara lantaran keterbatasan akses terhadap media massa. Sedangkan, orang-orang yang termasuk dalam sistem oligarki tadi seperti Nazarudiin, Dipo Alam, dan Ruhut Sitompul tentu saja sengaja dipelihara karena mereka mendapatkan penugasan khusus dengan informasi khusus.Perilaku demikian membuka promosi yang bebas hambatan bagi siapa pun yang bisa membeli sistem dan membentuk oligarki dalam setiap kelompok masyarakat. (Lelo Yosep)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H